السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول
الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:
Hak dan kewajiban umat atas pemerintahan
Rakyat
dan pemerintahan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Mustahil sebuah pemerintahan
berdiri tegak tanpa ada rakyat atau umat yang ada di dalamnya. Sebab, kekuasaan
pemerintahan seperti itu adalah kekuasaan yang kosong dan tidak memiliki
kekuatan apa-apa.
Rakyat atau
umat tidak mungkin juga dapat hidup tanpa pemerintahan yang mengaturnya karena
keadaan akan menjadi kacau akibat adanya kehendak-kehendak yang berbeda-beda
dan saling memaksa. Hanya umat atau rakyat yang semuanya terdiri dari
orang-orang bijak bestari yang tidak memerlukan pemerintahan. Tetapi, umat yang memiliki karakter seperti
ini hanya ada dalam alam mimpi atau alam utopi.
Oleh
karena itu, keberadaan sebuah negara yang terdiri dari pemerintahan dan rakyat
adalah sebuah keniscayaan dalam ajaran Islam. Firman Allah SWT dalam Surah
An-Nisaa’ ayat 58-59, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).”
Ibnu
Taimiyah dengan tegas menyatakan, “Barang siapa yang tidak bisa diluruskan
dengan Al-Qur’an maka diluruskan dengan kekuatan. Oleh karena itu agama ditegakkan dengan Al-Qur’an
dan senjata.” Sedangkan Imam
Al-Ghazali mengatakan, “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan
dunia. Kekuasaan dan agama adalah
kembaran yang tidak dapat dipisahkan.
Agama adalah tiang, sementara penguasa adalah penjaga. Bangunan tanpa tiang akan rubuh dan apa yang
tidak dijaga akan hilang. Keteraturan
dan kedisiplinan tidak akan terwujud kecuali dengan penguasa.”
Kewajiban
pemerintahan kepada rakyatnya sangat jelas, yakni menyampaikan amanat dan
menetapkan hukum secara berkeadilan.
Sedangkan kewajiban rakyat juga sangat jelas, yaitu tunduk dan taat
kepada pemerintah dalam mengelola dan menjaga negaranya. Amanat dan hukum yang harus dijalankan
pemerintah dengan adil mencakup seluruh bidang kehidupan, mulai dari ekonomi,
hukum, sosial, budaya, politik dan lainnya.
Rasulullah SAW menyatakan, “Saya lebih utama bagi setiap Muslim
ketimbang dirinya sendiri. Siapa yang
meninggalkan harta kekayaan, maka menjadi hak warisnya. Siapa yang meninggalkan utang atau anak-anak
dan keluarga maka saya bertanggung jawab atas mereka.” (HR Muslim).
Apabila
kedua pihak tidak menunaikan kewajibannya maka kedua pihak akan kehilangan
hak-haknya. Hak keadilan dalam segala
bidang bagi rakyat dan hak ketaatan dan kepatuhan bagi pemerintahan. Keadaan ini akan menjadi ancaman serius bagi
stabilitas negara dan bahaya yang ditimbulkannya boleh jadi akan melebihi
serangan dari negara-negara musuh yang sangat kuat sekalipun.
Untuk menjaga
stabilitas inilah setiap Khalifah yang empat diangkat mereka melakukan
pidato-pidato yang memerintahkan untuk mewaspadai kemungkinan di atas,
sebagaimana pidato Khalifah Abu Bakar As Shidiq RA dalam pengangkatannya, “Wahai
manusia seluruhnya, aku diangkat untuk memimpin kamu dan aku bukanlah orang
terbaik diantara kamu. Jika aku membuat
kebaikan maka dukunglah aku. Tetapi jika
aku membuat kejelekan maka koreksilah aku.
Kebenaran itu suatu amanat dan kebohongan itu suatu khianat….. Patuhilah
aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya.
Bila aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka tiada kewajiban patuh bagi
kamu terhadap aku…. ”
Masa depan umat bila pemerintah melalaikan kewajibannya
Kehancuran
umat dan rakyat akan menjadi sebuah ancaman yang paling serius apabila
pemerintahan tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, terutama terhadap
rakyat dan umatnya. Pemerintah yang
korup terhadap amanat yang diembannya dan yang zalim terhadap ketetapan-ketetapan
hukumnya akan menjadi bencana besar dalam seluruh bidang kehidupan: sosial,
politik, ekonomi, hukum, budaya, dan akhirnya eksistensi negara itu
sendiri.
Inilah kiamat
yang dijanjikan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW dalam haditsnya: “Bila
amanat disia-siakan tunggulah datangnya kiamat.” Dikatakan: “Bagaimana bentuk
penyia-nyiaannya?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila persoalan diserahkan
kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.” (H.R.
Bukhari). Orang-orang yang memiliki
sifat korup dan bengis tentu bukan ahlinya (menjadi) penguasa atau
pemerintahan.
Bermacam-macam
model negara yang menyeleweng dari negara ideal akibat tidak dilaksanakannya
kewajiban pemerintahan. Ada
negara diktator otoriter yang pemerintahannya membungkam segala bentuk kritik
dan pendapat rakyat sehingga segala macam aktivitas rakyat dicurigai dan
dibatasi. Bersamaan dengan itu, negara
akan bersifat sangat korup dan semena-mena karena tidak ada satu kekuatan pun
yang mampu mengingatkan dan meluruskannya. Negara juga akan bersifat sekuler
meskipun secara resmi ia menghormati keberadaan agama-agama. Peran agama
diminimalisir sekecil mungkin dan akhirnya terpinggirkan tak berdaya. Yang
berkembang adalah budaya hedonisme, pragmatisme, materialisme, dan permisivisme. Pada puncaknya sumberdaya negara akan habis
tersia-siakan akibat digerogoti terus-menerus secara tidak bertanggung jawab.
Hal
yang paling sering terjadi dalam negara seperti di atas adalah diterapkannya
politik belah bambu oleh penguasa—satu kelompok diperlakukan istimewa,
sedangkan kelompok lainnya diinjak-injak. Dua kelompok ini kemudian dihasut
untuk saling bermusuhan dan bahkan menyerang satu dengan yang lain. Maka, dengan itu perhatian rakyat akan
terpecah oleh persoalan-persoalan konflik horisontal dan meninggalkan
persoalan-persoalan yang terkait dengan kebobrokan pemerintah. Isu yang dikembangkan kadang persoalan
rasial, agama, fasilitas, bahkan sampai-sampai persoalan-persoalan sepele yang
kemudian direkayasa menjadi persoalan besar yang dapat menimbulkan
bentrokan.
Bahaya
fitnah yang terjadi dalam suatu wilayah digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya
: “Dan takutlah terhadap fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim
di antara kamu semata. Dan ketahuilah
bahwasanya balasan Allah sangat berat.” (Q.S. 8/Al-Anfaal: 24). Kezhaliman yang dilakukan oleh seorang rakyat
saja dampak buruknya dapat menyebabkan kehancuran seluruh umat, apalagi jika kezhaliman
itu datangnya dari rezim para penguasa; pemerintah yang seharusnya memerintah
dan mengatur rakyat. Bahayanya akan jauh
lebih besar dan lebih dahsyat lagi.
Menuntut hak dengan menunaikan kewajiban
Terpeliharanya
negara dari penyelewengan para penguasanya merupakan hasil kerja dari
orang-orang kritis yang mengelilingi penguasa tersebut. Mereka bisa berasal dari golongan wazir
(menteri), ulama, atau bahkan rakyat kecil sekalipun. Oleh karena itu, umat tidak boleh tinggal
diam melihat kezhaliman yang merajalela di depan matanya. Para
pemimpin pemerintahan itu adalah saudara Muslim mereka sendiri sehingga terkena
kewajiban di antara pribadi Muslim satu dengan lainnya. Salah satu di antaranya
adalah saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang.
Imam Muslim
dan Ahmad meriwayatkan, pada suatu hari seorang sahabat, ‘Aidz ibn Amru (wafat
61 H) datang menemui salah seorang gubernur yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad
dan menasihatinya: “Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda bahwa seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang bengis. Maka hati-hatilah engkau agar tidak termasuk
ke dalam golongan mereka.” Ubaidillah ibn Ziyad kemudian menyahut: “Duduklah,
sesungguhnya engkau hanyalah seorang yang tidak diperhitungkan (nukhoolatun)
dari sahabat-sahabat Muhammad.” ‘Aidz
ibn Amru kemudian berkata: “Adakah orang-orang yang tak diperhitungkan pada
atau di antara sahabat-sahabat Muhammad?
Sesungguhnya orang-orang yang tak diperhitungkan itu ada pada masa
sesudah mereka dan di dalam masyarakat selain mereka.”
Dalam
sebuah pertemuan di Istana Baghdad Al Hasan bin Zaid, gubernur Madinah, meminta
seorang ulama shalih bernama Ibnu Abi Dzuaib yang ada di ruang pertemuan itu
untuk menilai Khalifah Abu Ja’far Al Manshur.
“Apa yang engkau katakan tentang diriku ?” tanya khalifah Abbasiyah itu. “Engkau bertanya kepadaku seakan-akan kamu
tidak tahu tentang dirimu sendiri?” Abi Dzuaib balik bertanya, “Demi Allah,
engkaulah yang memberitahu aku,” kata Abu Ja’far menegaskan. Abu Dzuaib akhirnya berkata, “Aku bersaksi
engkau telah mengambil harta benda dengan cara tidak benar, lalu engkau
memberikannya kepada orang yang tidak berhak atas harta itu. Aku juga bersaksi
bahwa kezaliman merajalela di pintu rumahku.”
Mendengar
hal itu Abu Ja’far bangkit dari tempat duduknya lalu memegang tengkuk Ibnu Abi
Dzuaib seraya berkata, “Demi Allah, andaikata aku tidak sedang berdiam di
tempat ini, tentu sudah kuambil negeri Persia, Romawi, dan Turki dengan jaminan
tengkukmu ini.” Abi Dzuaib dengan tenang berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Abu
Bakar dan Umar telah menjadi pemimpin.
Mereka berdua melaksanakan kebenaran, berbuat dengan adil, mencengkram
tengkuk orang-orang Persia
dan Romawi serta dapat menonjok hidung mereka.”
Abu Ja’far melepaskan tangannya dari tengkuk Ibnu Abi Dzuaib seraya
berkata, “Demi Allah, kalau bukan karena engkau orang yang jujur, tentu aku
akan membunuhmu.” Abi Dzuaib berkata,
“Demi Allah wahai Amirul Mukminin, aku memberi nasihat kepadamu lantaran
anakmu, Al Mahdi.” (Diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i).
Dengan
mengembangkan tradisi kritis terhadap pemerintahan yang merupakan kewajiban
rakyat, insya Allah para penguasa pun akan terketuk hatinya untuk menunaikan
kewajiban-kewajibannya sebagai pemimpin. Jika pemerintah yang berlaku zalim tak
mau menerima kritik, maka akan terjadi sunnatullah dimana akumulasi
ketidakpuasan rakyat akan memaksa terjadinya perubahan-perubahan pemerintahan
secara lebih tidak terkendali. Kekacauan
dan fitnah memang sesuatu yang mengerikan tetapi, sebagaimana terjadi pada
masa-masa lalu, hal itu tidak dapat dihindari dalam mengiringi kemunculan
terjadinya perubahan yang lebih menjanjikan masa depan.
أَقُوْلُ
قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ - والسلام عليكم ورحمة
الله وبركاته
Tidak ada komentar:
Posting Komentar