Sabtu, 18 Oktober 2014

Hak Dan Kewajiban Rakyat Atas Pemerintahan Dan Masa Depan Perjuangan Islam


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:

Hak dan kewajiban umat atas pemerintahan


            Rakyat dan pemerintahan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.  Mustahil sebuah pemerintahan berdiri tegak tanpa ada rakyat atau umat yang ada di dalamnya. Sebab, kekuasaan pemerintahan seperti itu adalah kekuasaan yang kosong dan tidak memiliki kekuatan apa-apa. 
Rakyat atau umat tidak mungkin juga dapat hidup tanpa pemerintahan yang mengaturnya karena keadaan akan menjadi kacau akibat adanya kehendak-kehendak yang berbeda-beda dan saling memaksa. Hanya umat atau rakyat yang semuanya terdiri dari orang-orang bijak bestari yang tidak memerlukan pemerintahan.  Tetapi, umat yang memiliki karakter seperti ini hanya ada dalam alam mimpi atau alam utopi.
            Oleh karena itu, keberadaan sebuah negara yang terdiri dari pemerintahan dan rakyat adalah sebuah keniscayaan dalam ajaran Islam. Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisaa’ ayat 58-59, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu.  Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).”
            Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan, “Barang siapa yang tidak bisa diluruskan dengan Al-Qur’an maka diluruskan dengan kekuatan.  Oleh karena itu agama ditegakkan dengan Al-Qur’an dan senjata.”  Sedangkan Imam Al-Ghazali mengatakan, “Dunia adalah ladang akhirat.  Agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia.  Kekuasaan dan agama adalah kembaran yang tidak dapat dipisahkan.  Agama adalah tiang, sementara penguasa adalah penjaga.  Bangunan tanpa tiang akan rubuh dan apa yang tidak dijaga akan hilang.  Keteraturan dan kedisiplinan tidak akan terwujud kecuali dengan penguasa.”
            Kewajiban pemerintahan kepada rakyatnya sangat jelas, yakni menyampaikan amanat dan menetapkan hukum secara berkeadilan.  Sedangkan kewajiban rakyat juga sangat jelas, yaitu tunduk dan taat kepada pemerintah dalam mengelola dan menjaga negaranya.  Amanat dan hukum yang harus dijalankan pemerintah dengan adil mencakup seluruh bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, hukum, sosial, budaya, politik dan lainnya.  Rasulullah SAW menyatakan, “Saya lebih utama bagi setiap Muslim ketimbang dirinya sendiri.  Siapa yang meninggalkan harta kekayaan, maka menjadi hak warisnya.  Siapa yang meninggalkan utang atau anak-anak dan keluarga maka saya bertanggung jawab atas mereka.” (HR Muslim).
            Apabila kedua pihak tidak menunaikan kewajibannya maka kedua pihak akan kehilangan hak-haknya.  Hak keadilan dalam segala bidang bagi rakyat dan hak ketaatan dan kepatuhan bagi pemerintahan.  Keadaan ini akan menjadi ancaman serius bagi stabilitas negara dan bahaya yang ditimbulkannya boleh jadi akan melebihi serangan dari negara-negara musuh yang sangat kuat sekalipun. 
Untuk menjaga stabilitas inilah setiap Khalifah yang empat diangkat mereka melakukan pidato-pidato yang memerintahkan untuk mewaspadai kemungkinan di atas, sebagaimana pidato Khalifah Abu Bakar As Shidiq RA dalam pengangkatannya, “Wahai manusia seluruhnya, aku diangkat untuk memimpin kamu dan aku bukanlah orang terbaik diantara kamu.  Jika aku membuat kebaikan maka dukunglah aku.  Tetapi jika aku membuat kejelekan maka koreksilah aku.  Kebenaran itu suatu amanat dan kebohongan itu suatu khianat….. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya.  Bila aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka tiada kewajiban patuh bagi kamu terhadap aku…. ”
           

Masa depan umat bila pemerintah melalaikan kewajibannya


            Kehancuran umat dan rakyat akan menjadi sebuah ancaman yang paling serius apabila pemerintahan tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, terutama terhadap rakyat dan umatnya.  Pemerintah yang korup terhadap amanat yang diembannya dan yang zalim terhadap ketetapan-ketetapan hukumnya akan menjadi bencana besar dalam seluruh bidang kehidupan: sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, dan akhirnya eksistensi negara itu sendiri. 
Inilah kiamat yang dijanjikan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW dalam haditsnya: “Bila amanat disia-siakan tunggulah datangnya kiamat.”  Dikatakan: “Bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.” (H.R. Bukhari).  Orang-orang yang memiliki sifat korup dan bengis tentu bukan ahlinya (menjadi) penguasa atau pemerintahan. 
            Bermacam-macam model negara yang menyeleweng dari negara ideal akibat tidak dilaksanakannya kewajiban pemerintahan. Ada negara diktator otoriter yang pemerintahannya membungkam segala bentuk kritik dan pendapat rakyat sehingga segala macam aktivitas rakyat dicurigai dan dibatasi.  Bersamaan dengan itu, negara akan bersifat sangat korup dan semena-mena karena tidak ada satu kekuatan pun yang mampu mengingatkan dan meluruskannya. Negara juga akan bersifat sekuler meskipun secara resmi ia menghormati keberadaan agama-agama. Peran agama diminimalisir sekecil mungkin dan akhirnya terpinggirkan tak berdaya. Yang berkembang adalah budaya hedonisme, pragmatisme, materialisme, dan permisivisme.  Pada puncaknya sumberdaya negara akan habis tersia-siakan akibat digerogoti terus-menerus secara tidak bertanggung jawab.
            Hal yang paling sering terjadi dalam negara seperti di atas adalah diterapkannya politik belah bambu oleh penguasa—satu kelompok diperlakukan istimewa, sedangkan kelompok lainnya diinjak-injak. Dua kelompok ini kemudian dihasut untuk saling bermusuhan dan bahkan menyerang satu dengan yang lain.  Maka, dengan itu perhatian rakyat akan terpecah oleh persoalan-persoalan konflik horisontal dan meninggalkan persoalan-persoalan yang terkait dengan kebobrokan pemerintah.  Isu yang dikembangkan kadang persoalan rasial, agama, fasilitas, bahkan sampai-sampai persoalan-persoalan sepele yang kemudian direkayasa menjadi persoalan besar yang dapat menimbulkan bentrokan. 
            Bahaya fitnah yang terjadi dalam suatu wilayah digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya : “Dan takutlah terhadap fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim di antara kamu semata.  Dan ketahuilah bahwasanya balasan Allah sangat berat.” (Q.S. 8/Al-Anfaal: 24).  Kezhaliman yang dilakukan oleh seorang rakyat saja dampak buruknya dapat menyebabkan kehancuran seluruh umat, apalagi jika kezhaliman itu datangnya dari rezim para penguasa; pemerintah yang seharusnya memerintah dan mengatur rakyat.  Bahayanya akan jauh lebih besar dan lebih dahsyat lagi. 

Menuntut hak dengan menunaikan kewajiban

            Masa depan umat di dalam sebuah negara yang pemerintahannya zalim sangat tergantung pada umat atau rakyat itu sendiri.  Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Setiap nabi yang diutus Allah kepada suatu kaum sebelum saya selalu punya pendukung dan pembela yang melaksanakan sunnahnya dan mematuhi perintahnya.  Kemudian kaum itu meninggalkan generasi yang mengatakan apa yang mereka tidak lakukan, melakukan apa yang tidak diperintahkan.  Siapa yang melawan mereka dengan kekuatan tangannya, maka dia adalah orang mukmin.  Siapa yang melawan mereka dengan kekuatan lisannya, maka dia adalah mukmin.  Siapa yang melawan mereka dengan kekuatan hatinya, maka dia adalah mukmin.  Selain tindakan itu, tidak ada lagi keimanan sebesar zarrah pun.” (H.R Muslim).
            Terpeliharanya negara dari penyelewengan para penguasanya merupakan hasil kerja dari orang-orang kritis yang mengelilingi penguasa tersebut.  Mereka bisa berasal dari golongan wazir (menteri), ulama, atau bahkan rakyat kecil sekalipun.  Oleh karena itu, umat tidak boleh tinggal diam melihat kezhaliman yang merajalela di depan matanya.  Para pemimpin pemerintahan itu adalah saudara Muslim mereka sendiri sehingga terkena kewajiban di antara pribadi Muslim satu dengan lainnya. Salah satu di antaranya adalah saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang. 
Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan, pada suatu hari seorang sahabat, ‘Aidz ibn Amru (wafat 61 H) datang menemui salah seorang gubernur yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan menasihatinya: “Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang bengis.  Maka hati-hatilah engkau agar tidak termasuk ke dalam golongan mereka.” Ubaidillah ibn Ziyad kemudian menyahut: “Duduklah, sesungguhnya engkau hanyalah seorang yang tidak diperhitungkan (nukhoolatun) dari sahabat-sahabat Muhammad.”  ‘Aidz ibn Amru kemudian berkata: “Adakah orang-orang yang tak diperhitungkan pada atau di antara sahabat-sahabat Muhammad?  Sesungguhnya orang-orang yang tak diperhitungkan itu ada pada masa sesudah mereka dan di dalam masyarakat selain mereka.”
Dalam sebuah pertemuan di Istana Baghdad Al Hasan bin Zaid, gubernur Madinah, meminta seorang ulama shalih bernama Ibnu Abi Dzuaib yang ada di ruang pertemuan itu untuk menilai Khalifah Abu Ja’far Al Manshur.  “Apa yang engkau katakan tentang diriku ?” tanya  khalifah Abbasiyah itu.  “Engkau bertanya kepadaku seakan-akan kamu tidak tahu tentang dirimu sendiri?” Abi Dzuaib balik bertanya, “Demi Allah, engkaulah yang memberitahu aku,” kata Abu Ja’far menegaskan.  Abu Dzuaib akhirnya berkata, “Aku bersaksi engkau telah mengambil harta benda dengan cara tidak benar, lalu engkau memberikannya kepada orang yang tidak berhak atas harta itu. Aku juga bersaksi bahwa kezaliman merajalela di pintu rumahku.” 
Mendengar hal itu Abu Ja’far bangkit dari tempat duduknya lalu memegang tengkuk Ibnu Abi Dzuaib seraya berkata, “Demi Allah, andaikata aku tidak sedang berdiam di tempat ini, tentu sudah kuambil negeri Persia, Romawi, dan Turki dengan jaminan tengkukmu ini.” Abi Dzuaib dengan tenang berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Abu Bakar dan Umar telah menjadi pemimpin.  Mereka berdua melaksanakan kebenaran, berbuat dengan adil, mencengkram tengkuk orang-orang Persia dan Romawi serta dapat menonjok hidung mereka.”  Abu Ja’far melepaskan tangannya dari tengkuk Ibnu Abi Dzuaib seraya berkata, “Demi Allah, kalau bukan karena engkau orang yang jujur, tentu aku akan membunuhmu.”  Abi Dzuaib berkata, “Demi Allah wahai Amirul Mukminin, aku memberi nasihat kepadamu lantaran anakmu, Al Mahdi.” (Diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i).
            Dengan mengembangkan tradisi kritis terhadap pemerintahan yang merupakan kewajiban rakyat, insya Allah para penguasa pun akan terketuk hatinya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai pemimpin. Jika pemerintah yang berlaku zalim tak mau menerima kritik, maka akan terjadi sunnatullah dimana akumulasi ketidakpuasan rakyat akan memaksa terjadinya perubahan-perubahan pemerintahan secara lebih tidak terkendali.  Kekacauan dan fitnah memang sesuatu yang mengerikan tetapi, sebagaimana terjadi pada masa-masa lalu, hal itu tidak dapat dihindari dalam mengiringi kemunculan terjadinya perubahan yang lebih menjanjikan masa depan.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ - والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته




Tidak ada komentar:

Posting Komentar