|
MATERI TARBIYAH
MARHALAH TAMHIDI
المقدمة
الحمد
لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على سيدنا محمد ، وعلى آله وصحبه ، ومن دعا
بدعوته وسار على سنته إلى يوم الدين. وبعد .
Fiqh ibadah telah mendapatkan porsi besar dalam
sejarah fiqh kita. Telah ditulis beribu-ribu buku, ada yang ringkas, ada yang
luas. Ada yang focus pada hukum-hukum yang dikukuhkan dengan dalil Al
Kitab dan As Sunnah, ada pula yang
terikat dengan satu madzhab, atau perbandingan antar madzhab, atau yang
langsung digali dari Al Qur’an dan As Sunnah. Semua jenis kitab mendapat sambutan
pada sebagian umat Islam dan penolakan dari sebagian yang lain.
Menurut dugaan kami, fiqhul ibadah tidak banyak
membutuhkan buku yang mengulang-ulangnya apa yang sudah ada di masa lalu,
dengan merubah judul, bab, maupun redaksinya. Akan tetapi yang dibutuhkan
mendesak adalah metode baru dalam menemukan fiqh secara menyeluruh –termasuk di
dalamnya adalah fiqhul ibadah- yang sejalan dengan realitas Islam dan kaum
muslimin, agar fiqh mampu kembali menjadi factor utama pembangunan masyarakat
islamiy yang dinanti-nanti, dan agar berperan maksimal dalam kebangkitan Islam
sekarang ini. Inilah yang kami upayakan dalam ktab ini. Dengan senantiasa
bermohon kepada Allah agar menghindarkan kami dari ketergelinciran.
Kami memandang perlu menyajikan kitab ini disertai
dengan pembahasan urgen tidak hanya untuk memahami metode mendapatkan fiqh,
tetapi juga untuk menentukan sikap yang tepat, yang sebaiknya dipilih oleh para
aktifis Islam, dan para da’I, penyeru ke jalan Allah, untuk setia dengannya
menghadapai serangan pemahaman yang beraneka ragam, sehingga tidak
menghilangkan peran utamanya dalam usaha serius menegakkan hukum Allah di muka
bumi.
METODE MEMAHAMI FIQH
Al Fiqh adalah
sekumpulan hukum syar’iy yang wajib dipegangi oleh setiap muslim dalam
kehidupan praktisnya. Hukum-hukum ini mencakup urusan pribadi maupun sosial,
meliputi:
1.
Al Ibadah: yaitu hukum yang
berkaitan dengan shalat, haji dan zakat. Inilah yang menjadi tema kitab ini
2.
Al Ahwal asy Syahsiyyah: yaitu
hokum yang berkaitan dengan keluarga sejak awal sampai akhir
3.
Al Mu’amalat: yaitu hukum yang
berkaitan dengan hubungan antar manusia satu dengan yang lain seperti hukum
akad, hak kepemilikan, dll
4.
Al Ahkam As Sulthaniyah: yaitu
hukum yang berkaitan dengan hubungan negara dan rakyat
5.
Ahakmus silmi wal harbi: yaitu
yang mengatur hubungan antar negara
Sesungguhnya
kompleksitas fiqh Islam terhadap masalah-masalah ini dan sejenisnya menegaskan
bahwa Islam adalah jalan hidup yang tidak hanya mengatur agama tetapi juga
mengatur negara.
DARI MANA HUKUM-HUKUM SYAR’I
DIGALI?
Kaum muslimin
telah bersepakat bahwa referensi dasar setiap muslim untuk menggali hukum-hukum
Islam adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Perbedaan pendapat terjadi pada
sumber-sumber hukum lainnya, yaitu: Ijam’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
dan al urf/adapt kebiasaan.
Kenyataannya
sumber-sumber yang berbeda-beda ini tetap merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasul juga. Dari itulah dapat dikatkan bahwa : Al Qur’an dan As Sunnah adalah
dua referensi setiap muslim untuk mengetahui hukum Islam…” hal ini
tidak berarti kita menolak sumber hukum lainnya, akan tetapi
sumber-sumber hukum yang lain itupun merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
MACAM-MACAM HUKUM SYAR’I
Hukum Syariy ada dua macam,
yaitu:
1.
QATH’IY, yaitu sekumpulan hukum
yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah dengan kesimpulan yang qath’iy/
pasti: seperti:
- Kewajiban shalat, dari firman Allah.: . وأقيموا الصلاة .
- Kewajiban puasa, dari firman Allah: فمن شهد منكم الشهر فليصمه
- Kewajiban zakat, dari firman Allah: . . وآتوا الزكاة .
- Kewajiban haji, dari firman Allah: . ولله على الناس حج البيت
- Larangan riba, dari firman Allah: . وذروا ما بقي من الربا
- Larangan zina dari firman Allah: . . ولا تقربوا الزنا .
- Larangan khamr, dari firman Allah: . . فاجتنبوه لعلكم تفلحون
- Kedudukan niat, karena sabda Nabi: . إنما الأعمال بالنيات .
Hukum syar’iy
yang bersifat qath’iy ini tidak ada peluang khilaf/beda pendapat di antara kaum
muslimin di level: ulama, madzhab, dan umat secara umum. Sebab semua itu adalah
hukum-hukum agama yang secara aksiomatis diterima sebagai
dharuriyyat/kepastian. Dan jumlahnya relative lebih kecil dibandingkan dengan
hukum syar’iy yang zhanniy.
2.
ZHANNIY, meliputi:
Sekumpulan hukum yang ditunjukkan
oleh Al Qur’an dan Sunnah dengan kesimpulan zhanniy/hepotesa.
Sekumpulan hukum yang digali oleh
para ulama dari sumber-sumber syariy yang lain dengan berijtihad. Di antara
contoh bagian pertama adalah:
·
Besaran usapan kepala yang
wajib dilakukan dalam berwudhu, seluruh kepala menurut Imam Malik dan Ahmad,
cukup sebagiannya menurut Abu Hanifah dan Asy Syafi’iy. Hal ini karena huruf
“BA” dalam firman Allah: وامسحوا
برؤوسكم dapat difahami dengan berbagai pemahaman, dan tidak terbatas
pada satu makna.
·
Jarak perjalanan musafir
yang memperbolehkan berbuka bagi orang yagn berpuasa, dan mengqashar shalat.
Empat pos menuurt madzhab Malikiy, Syafi’iy dan Hanbali, sekitar 90 km. karena
hadits Al Bukhari: Bahwasannya Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud ra keduanya mengqashar
shalat dan berbuka pada jarak empat pos. Menurut madzhab Hanafiy jaraknya
adalah perjalanan tiga hari, (sekitar 82 sampai 85 km) karena hadits Al
Bukhariy: Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kahir,
melakukan perjalanan sejauh tiga hari tanpa disertai mahram.
Dan jelas sekali, bahwa
pengambilan kesimpulan dari hadits di atas bersifat zhanniy/hepotesis.
Diantara contoh jenis kedua
adalah:
·
Isteri orang yang hilang
yang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah mati. Ijtihadnya madzhab
Hanafi dan Syafi’i memutuskan bahwa wanita itu menunggu sehingga orang-orang
yang sebaya dengan suaminya itu mati, sehingga dapat menyimpulkan bahwa
suaminya sudah mati, dan katika itu baru diputuskan berakhirnya status suami
isteri dan diperbolehkan menikah dengan orang lain. Dalilnya adalah bahwa orang
yang hilang itu semula dalam keadaan hidup. Dan prinsipnya ia masih hidup
sehingga ada dalil kematiannya. Ini adalah dalil ijtihadiy yang bersifat
zhanniy. Sedangkan dalam ijtihadnya madzhab Malikiy, dapat diputuskan
berakhirnya status suami isteri antara suami yang hilang, sesuai dengan
permintaan isteri setelah lewat masa empat tahun hilang dalam keadaan damai (
bukan perang) dan satu tahun dalam keadaan perang. Dalilnya adalah menjaga
maslahat isteri dan mencegah hal-hal buruk baginya, menghindari kerugian yang timbul
dengan mempertahankannya dalam keadaan tergantung. Hal ini juga bersifat
ijtihadiy dan zhanniy.
SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH ISLAM
1.
DI MASA RASULULLAH SAW
Rasulullah saw
semasa hidupnya menjadi referensi setiap muslim untuk mengetahui hukum
agamanya. Baik hukum itu diambil dari Al Qur’an maupun dari Sunnahnya; yang
mencakup: Perbuatannya, ucapannya, dan ketetapannya. Hokum yang Rasulullah
perintahkan adalah hokum Allah yang bersifat qath’iy meskipun berbentuk
pemahaman terhadap ayat Al Qur’an atau tafsirnya. Karena peran Rasulullah
adalah menjelaskan Al Qur’an. Firman Allah:
… Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
(QS. An Nahl: 44),akan tetapi para sahabat tidak selalu dekat dengan Rasulullah
sehingga setiap saat bias bertanya kepadanya tentang hokum agama yang muncul,
sebab di antara para sahabat ada yang musafir, muqim di negeri yangjauh. Maka
apa yang bisa mereka lakukan jika ada masalah.
Para sahabat berijtihad sebatas kemampuan dan pengetahuan
mereka tentang hokum-hukum Islam dari prinsip-prinsip Islam yang bersifat umum.
Sehingga ketika berjumpa dengan Rasulullah saw, mereka bertanya tentang apa
yang dihadapi. Kemungkinan Rasulullah mengiyakan ujtihad mereka, atau
meluruskan jika ada kesalahan, tetapi Rasulullah tidak pernah sekalipun menolak
prinsip ijtihad mereka. Seperti hadits Ammar bin Yasir ra berkata: Rasulullah
mengutusku melaksanakan satu tugas, lalu saya junub dan tidak menemukan air.
Kemudian aku berguling-guling di tanah seperti hewan. Kemdian aku menemui Nabi
dan aku ceritakan hal ini, lalu bersabda: Sesungguhnya sudah cukup bagimu
dengan kedua tanganmu, lalu Nabi memukulkan tangannya ke tanah dengan sekali
tepukan, kemudian mengusapkan yang kiri pada tangan kanan, punggung tangan dan
wajahnya. HR Asy Syaikhani dengan redaksi Muslim.
Kadang
sekelompok sahabat berbeda ijtihadnya sehinggga ketika masalah itu disampaikan
kepada Rasulullah saw, menetapkan ijtihad yang benar dan menjelaskan kesalahan
yang salah. Pernah juga menerima dua ijtihad yang bertentangan, sebagaimana
ketika memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke Bani Quraidhah dengan
bersabda: “Janganlah ada seseorang yang shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah.[1]
Kaum muslimin
segera berangkat, dan waktu ashar hampi habis sebelum mereka sampai di Bani
Quraidhah. Ada
sebagian yang berijtihad dan shalat di jalan sehingga tidak ketinggalan waktu
ashar. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak menghendaki kita untuk mengakhirkan
shalat ashar lewat waktunya. Dan yang lainnya berijtihad dengan tidak shalat
ashar sehingga sampai di Bani Quraidhah sesuai dengan perintah Nabi, sehingga
mereka shalat ashar setelah isya’. Maka ketika hal ini sampai kepada Nabi, Nabi
tidak mengingkari kedua kelompok ini. Ini menunjukkan kemungkinan multi
kebenaran hokum syar’iy untuk satu masalah hokum.
2.
SEJAK WAFAT NABI SAMPAI WAFATNYA
EMPAT IMAM MADZHAB
Setelah
Rasulullah saw wafat dan wilayah-wilayah baru Islam sangat luas. Mulailah
kebutuhan ijtihad para sahabat meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh dua
hal:
a.
Masuknya Islam ke masyarakat baru
membuat Islam berhadapan dengan problema yang tidak pernah terjadi di masa
Rasulullah saw, tidak ada wahyu yang turun, dan terdapat keharusan untuk mengetahui
hokum agama dan penjelasannya.
b.
Seorang sahabat Nabi tidak
mengetahui keseluruhan sunnah Nabi. Karena Rasulullah saw menyampaikan atau
mempraktekkan satu hukumsyar’I di hadapan sebagian sahabat, atau bahkan di
hadapan satu orang sahabat saja, tidak diliput oleh keseluruhan sahabat. Hal
ini mendorong sebagian sahabat berijtihad dalam masalah yang tidak diketahuinya
dari Rasulullah saw, pada saat yang sama mungkin sahabat lain menerima langsung
hokum syar’I ini dari Rasulullah.
Jarak antara para sahabat yang
berjauhan setelah wafat Umar bin Al Khaththab ra terbukalah ruang tampilnya dua
madrasah yang berbeda dalam menggali fiqh:
- Madrasatul Hadits di Hijaz, disebut demikian karena kebanyakan mereka berpegang kepada riwayat hadits. Hijaz adalah lahan Islam pertama. Setiap penduduknya kadang memiliki satu hadits atau lebih. Sebagaimana tabiat dan problem masyarakat yang tidak mengalami banyak perubahan, sehingga tidak memerlukan ijtihad.
- Madrasatur-ra’yi di Kufah. Disebut demikian karena banyak menggunakan akal dalam mengenali hukum-hukum syar’iy. Hal ini terpulang kepada sedikitnya hadits akibat sedikitnya sahabat di sana, dan karena banyaknya problema baru dalam masyarakat baru yang tidak ada dasarnya sama sekali.
Pada awalnya
perbedaan antara dua madrasah itu sangat tajam, hanya saja kemudian semakin
menyempit bersama dengan perkembangan waktu, khususnya setelah pembukuan
buku-buku hadits. Ditambah oleh keseriusan para ulama untuk menyaring dan
menjelaskan mana yang shahih, dhaif/lemah, dan palsu, sehingga tidak banyak
membutuhkan pendapat kecuali ketika tidak ada nash untuk satu masalah yang
timbul. Adapun berijtihad dalam alur nash itu sendiri sudah ada di madrasatul
hadits sebagaimana terdapat di madrasaturra’yi.
Pada fase
inilah terjadi perkembangan fiqh yang sangat besar, dan menjadi satu ilmu
tersendiri, dengan menampilkan ulama-ulama besar, yang terkenal adalah ulama
empat madzhab, yaitu:
- Abu Hanifah, An Nu’man bin Tsabit (80-150 H) dikenal dengan sebutan al imam al a’zham (ulama besar), berasal dari Persia. Pemegang kepemimpinan ahlurra’yi, pencetus pemikiran istihsan (menganggap baik sesuatu), dan menjadikannya sebagai salah satu sumber hokum Islam. Kepadanyalah madzhab Hanafi dinisbatkan.
- Malik bin Anas Al Ashbahi (93-179 H) Dialah imam ahli Madinah, menggabungnya antara hadits dan pemikiran dalam fiqihnya. Dialah pencetus istilah Al Mashalih al Mursalah (kebaikan yang tidak disebutkan dalam teks) dan menjadikannya sebagai sumber hokum Islam. Kepadanyalah madzhab Maliki dinisbatkan.
- Muhammad bin Idris Asy Syafi’I Al Qurasyi (150-204 H) Madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits, meskipun ia banyak mengambil ilmu dari pengikut Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Kepadanyalah madzhab Syafi;iy dinisbatkan
- Ahmad bin Hanbal Asy Syaibaniy (164-241 H) Dia adalah murid imam Syafi’I, dan madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits
Dan
kenyataannya sebelum munculnya para imam ini, bersama dan sesudah mereka itu
terdpat ulama-ulama besar yang tidak kalah perannya terutama ulama di kalangan
sahabat, seperti Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar dan
Zaid bin Tsabit. Demikian juga ulama di masa tabi’in seperti Said bin Musayyib,
Atha’ bin Abi Rabah, Ibrahim an Nakha’iy, Al Hasan AL Bashriy, Mak-hul dan
Thawus. Kemudian para gurunya empat imam madzhab itu, dan ulama semasanya
seperti Imam Ja’far Ash Shadiq, Al Auza’iy, Ibnu Syubrumah, Al Laits bin Sa’d,
dll.
Akan tetapi
empat imam madzhab itu memiliki para pengikut
yang merangkum pendapatnya, merapikannya, menjelaskannya, atau
meringkasnya untuk disajikan dengan mudah kepada kaum muslimin. Sehingga kaum
muslimin dapat memperoleh apa saja yang membantunya memahami hukum Islam dengan
tersusun rapi. Kemudian diajarkan di masjid-masjid beberapa tahun. Demikianlah
sehingga menjadi pondasi bagi kehidupan kaum muslimin, membuatnya sudah cukup
sehingga mereka tidak perlu merujuk kepada buku-buku tafsir, atau hadits untuk
mengetahui hukum Islam. Karena telah disajikan dengan methode madzhab fiqh yang
instant.
3.
SEJAK WAFATNYA EMPAT IMAM MADZHAB
SAMPAI RUNTUHNYA KHILAFAH UTSMANIYAH
Kaum muslimin
menerima empat madzhab ini dengan talaqqi, dan menjadikannya sebagai pegangan
fiqh Islam. Para ulama mempelajari dan
mengajarkannya. Mulailah fiqh menyebar luas dari terapi masalah sampai pada
analisa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Kajian-kajian fiqh tersebar
luas, dan mulai muncul fanatic madzhab yang menjadikan pengikut suatu madzhab
menganggap dirinyalah yang Islam, dari yang semula hanya merupakan hukum dan
pendapat yang berkembang dalam batas-batas ajaran Islam yang luas. Kemudian
para ulama empat madzhab itu mengeluarkan fatwa tentang tertutupnya pintu
ijtihad, sehingga orang-orang yang tidak berkompeten tidak masuk ke wilayah
ini, lalu diikuti oleh orang-orang awam sehingga umat Islam berada dalam gelombang
ketidakpastian yang mendelet apa yang sudah dibangun oleh para ulama besar
sebelumnya.
Demikianlah
sehingga berubah kepada taqlid. Para ulama
mengarahkan usahanya untuk mencari dalil atas pendapat-pendapat madzhab,
berijtihad di dalam madzhab, mentarjih antara pendapat yang berbeda-beda dalam
satu madzhab. Jadilah fiqh berputar dalam dirinya sendiri. Seorang ulama fiqh
mensyarah (menjelaskan) kitab fiqh imam sebelumnya dengan penjelasan rinci
berjilid-jilid besar, lalu datang ulama berikutnya yang meringkasnya, kemudian
ada yang memberikan ta’liq (catatan) atas ringkasan itu untuk menguraikan
sebagian ketidak jelasan, lalu ada yang menulis hasyiyah (catatan pinggir)nya,
kemudian ada yang kembali menguraikannya dengan detail. Demikianlah fiqh mengalami
kejumudan untuk menguraikan realitas yang ada. Terjadi pembengkakan kajian
masalah ibadah sementara masalah-masalah politik Islam, masalah mu’amalat.
Sehingga ketik aterjadi serangan Barat terhadap negeri Islam pada akhir abad
sembilan belas ditemukan banyak sekali orang-orang yang sudah kalah jiwanya,
lalu menerima banyak sekali fikiran Barat yang bertentangan dengan syari’at
Islam dan menanggalkan atiribut ke-Islam-an. Sehingga ada seorang tokoh yang
berfatwa memperbolehkan uang riba untuk memberi makan anak-anak yatim,
mengesahkan aturan yang menyamakan hak laki-laki dan wanita dalam memperoleh
harta warisan.
Buah dari
fanatic madzhab adalah kejumudan fiqh yang melatar belakangi runtuhnya khilafah
Utsmaniyah.
Pada masa itu
memang ada ulama yang menyerukan untuk menolak taqlid. Banyak juga di antara
ulama madzhab yang berijtihad dan berbeda dengan pendapat madzhabnya, dengan
mentarjih pendapat madzhab lainnya. Tetapi terpaku dengan satu madzhab fiqh
menjadi cirri menonjol mayorotas umat Islam saat itu, terutama ketika ada suara
dari sebagian pengikut madzhab yang fanatic melarang pindah ke madzhab lain.
4.
SEJAK RUNTUHNYA KHILAFAH
UTSMANIYAH SAMPAI HARI INI
Fase ini ditandai dengan semakin luasnya
perbedaan antara dua madrasah fiqh:
a.
Al Madrasah Al Madzhabiyyah: yaitu
madrasah pengikut empat madzhab yang menganggap telah tertutupnya pintu
ijtihad, dan keharusan seorang muslim untuk konsisten dengan salah satu dari
empat madzhab.
b.
Al Madrasah as Salafiyah, yaitu
madrasah yang menghendaki kembali langsung kepada Al Qur’an dan As Sunnah,
melarang seorang muslim taqlid dalam masalah furu’, mewajibkannya berijtihad,
mengkaji dan mengambil langsung dari teks Al Qur’an dan Sunnah.
Memang
pertarungan ini sudak ada sejak fase sebelumnya, akan tetapi pada fase ini
pertarunan itu semakin tajam dan meluas, dan menjadi tema pentinf dalam
diskusi-diskusi antara para ulama dan pencari ilmu, bahkan di kalangan awam.
Pendukung masing-masing madrasah menulis buku, menyebarkan artikel untuk
mendukung pandangannya.
Luasnya ruang
dialog berdampak luas bagi mundurnya masing-masing pendukung madrasah itu dari
sikap sektariannya, dan dapat mempersempit ruang perbedaan, dan bahkan terjadi
pencairan, kalau saja tidak ada orang-orang yang ta’ashshub/ fanatic terhadap
masing-masing madrasah, yang terus mempertahankan sikap sekatariannya yang
mengundang reaksi fihak lainnya.
Kami akan
berusaha untuk mengambil batas-batas qaidah syar’iy, yang memungkinkan dua
madrasah itu bertemu, dan jauh dari sikap sektarian dan fanatic, yaitu:
a.
Masyru’iyyah
(disyari’atkannya) Taqlid
Taqlid artinya mengikuti pendapat
seorang ulama tanpa mengatahui dalil kebenaran pendapat itu. Hal ini
disyari’atkan bagi kaum muslimin yang awam dalam masalah-masalah fiqh. Dalilnya
antara lain:
1.
Firman Allah: …; maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, QS. An
Nahl: 43
Perintah Allah
ini pada orang yang tidak mengetahui hokum agama untuk bertanya kepada ahludz
dzikr, yaitu orang-orang yang mengetahuinya. Dan yang terendah dalam perintah
ini adalah al ibahah/boleh. Kesimpulannya: diperbolehkan bagi orang awam untuk
bertanya kepada ulama dan mengikuti pendapatnya.
2.
firman Allah: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min
itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya. QS. At Taubah: 122
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa tidak mungkin seluruh kaum
muslimin mempelajari fiqh, akan tetapi ada sekelompok orang yang focus,
kemudian mengajarkannya kepada saudara-saudaranya. Jika memungkinkan atau semua
umat Islam disuruh mendalami fiqh dalam setiap masalah furu’iyah maka Allah
tidak memberikan larangan di atas.
Realitas sahabat ra yang merupakan generasi terbaik, hanya terdapat
sedikit fuqaha, dan mayoritas mereka meruju’ kepada para fuqaha yang minoritas
itu untuk mendapatkan fatwa masalah-masalah agamanya. Menerima fatwanya tanpa
menanyakan apa dalilnya, kecuali dalam kondisi tertentu.
Rasulullah saw mengutus seorang ulama, atau qari’ (pembaca Al Qur’an)
dari kalangan sahabat ke satu qabilah untuk mengajarkan Islam dan Al Qur’an.
Kabilah itu menerima saja dari sahabt itu tanpa menanyakan apa dalilnya.
Demikianlah ijma’ (kesepakatan) sahabat tentang diperbolehkannya orang
awam mengikuti seorang mujtahid. [2]
Logis dan riilnya: Apa yang bias dilakukan oleh seorang muslim yang
awam, dan tersibukkan dengan urusan pekerjaan? Apa yang bisa dilakukan seorang
arsitek, dokter, dll jika menghadapi masalah agama? Apakan kita mengharuskannya
untuk mengkaji buku-buku tafsir, dan hadits untuk mendapatkan nash atau tidak?
Lalu jika tidak menemukan maka harus merujuk kepada buku-buku bahasa, agar
memahaminya. Jika menemukan lebih dari satu nash maka harus mentarjih salah
satunya. Dan ini tidak akan terjadi kecuali setelah melakukan kajian panjang,
mengetahui nasakh mansukh, dll. Jika tidak menemukan nash, kita haruskan
berijtihad. Sementara seseorang tidak akan bisa berijtihad jika tidak memilki
kemampuan ijtihad.
Dan ketika kita perketat syarat ijtihad maka kebanyakan orang tak akan
mampu, sebagaimana yang terjadi sekarang ini, atau akan terjadi ijtihad tanpa batasan
syar’iy, tanpa ilmu. Dan ini lebih berbahaya daripada mengembalikan mereka
kepada ulama yang telah menfokuskan diri untuk menggali hukum.
Realitas madrasah salafiyah sendiri –sudah tidak rahasia lagi- bahwa
ulama madrasah ini banyak berbeda pendapat satu dengan yang lainnya dalam
masalah hukum Islam, bisa karena perbedaan penafsiran, atau mentashih hadits,
atau dalam menggali hukum, dan setiap ulama itu memiliki pengikut pendapatnya.
Ada
yang mengatakan bahwa hal ini bukan taqlid tetapi ittiba’ karena pengikut itu
mengetahui dalilnya dan menerimanya. Kami katakana: Mengapa para ulama itu
tidak mengenali dalil ulama lain dan menerimanya? Apakah ketika seseorang
menerima dalil salah seorang ulama dianggap tidak ada nilainya karena berbeda
dengan ulama lainnya? Apa bedanya hal ini dengan para pengikut yang menerima
dalil yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar, dengan para pengikut
taqlid tanpa bertanya tentang dalilnya, karena dia menyadari ketidak mampuannya
untuk menerima atau menolak dalil?
Terakhir, telah berlangsung ijma’ tentang diperbolehkannya taqlid sejak
abad pertama, meskipun ada sebagian sectarian pengikut madrasah salafiyah yang
berbeda pendapat. Pada kenyataannya mereka menerima taqlid itu dengan bentuk
lain.
b.
Taqlid bukanlah kewajiban
Diantara kesalahan
populis pada fase fanatic madzhab adalah terbaginya kaum muslimin pada mujtahid
dan muqallid, lalu tertutupnya pintu ijtihad, sehingga setiap orang menjadi
muqallid termasuk para ulama dan pencari ilmu. Karena itulah melemah atau
hilang semangat untuk mengkaji, diskusi, dan pendalaman. Obsesi para ulama
muqallid hanya terbatas pada pembelaan pendapat madzhabnya meskipun dengan
dalil yang lemah, meskipun mereka tidak berhak karena statusnya sebagai
muqallid, untuk berbeda dengan madzhab. Al Iz ibn Abdussalam dalam kitabnya:
“Qawa’idul Ahkam” mengkritik para fuqaha yang menyikapi kelemahan dalil
imamnya, lalu berusaha mencari pembenarannya, dan tidak menemukan pembelaan
kelemahannya, tetapi masih saja mengikutinya dengan meninggalkan Al Kitab, As
Sunnah dan qiyas yang shahih, karena mempertahankan kejumudan taqlid imamnya.
Kalimat ini
tidak kami maksudkan untuk membuka pintu ijtihad yang bisa dimasuki siapa saja
tanpa kemampuan yang cukup. Kami hanya bertujuan untuk mengatakan bahwa taqlid
dan urgensinya adalah dalam batas mubah dan boleh, tidak akan berubah menjadi
wajib, kecuali pada orangawam yang sama sekali tidak memiliki kemampuan
pengkajian dan penelitian. Sedangkan bagi orang yang mampu mempelajari dan
meneliti, atau mumpuni untuk berpindah dari taqlid (mengikuti pendapat ulama
tanpa mengetahui dalilnya) kepada ittiba’ (mengikuti pendapat ulama setelah
mengetahui dalilnya). Mengetahui dalil dan menerimanya tidak berarti
melegitimasinya menjadi ahli ijtihad, hanya memperbolehkannya, bisa jadi dalam
satu masalah ketika memepelajari dalil-dalil madzhabnya kemudian menemukan
kelemahan dalil itu mengharuskannya untuk mengambil pendapat madzhab lain yang
lebih kuat. Posisi ini dapat disebut –sebagaimana Imam Hasan Al Banna- menyebutnya
: “Level mengkaji hukum agama” atau
level orang yang mampu mengkaji hukum-hukum agama, memahaminya, mengenali dalilnya, dan merujuk kepada sumber
utama untuk menilainya.
c.
Taqlid tidak terbatas pada
empat Madzhab
Masalah
populer yang ada di masa fanatic madzhab adalah pembatasan taqlid pada empat
madzhab saja. Hal ini tidak berdasar pada dalil syar’iy yang melarang taqlid
ulama lainnya.
Dasarnya
hanyalah bahwa madzhab empat itu telah lengkap pembukuan dan penjelasannya,
yang dapat diperoleh dengan berurutan, terbagi menurut bab yang rapi, dan
tersedia para ulama yang mengajarkan, sehingga bisa dengan mudah meyakinkan dan
menisbatkan pendapat itu kepada aslinya, imamnya atau madzhabnya.
Sedangkan
madzhab lainnya maka sangat sulit untuk menemukan nisbat pendapat itu kepada
yang berhak. Kalau toh bisa ditemukan nisbatnya, pendapat-pendapat itu tidak
didukung oleh para pengikut madzhab yang menjelaskannya ketika membutuhkan
penjelasan.
Atas dasar
sebab-sebab teknis di atas itulah kemudian para ulama membatasi taqlid hanya
pada empat madzhab saja.
Akan tetapi
pada zaman sekarang ini, ketika buku-buku klasik Islam telah dicetak dan telah
berada di tangan kaum muslimin, dan pendapat para sahabat dan tabiin serta para
mujtahid -baik fase sebelum era empat madzhab, atau yang semasa mereka, atau
sesudahnya- telah tersebar dan sangat mudah untuk menisbatkan kepada pemilik
aslinya. Maka tidak ada lagi halangan untuk bertaqlid kepada mereka dalam satu
masalah atau yang lainnya jika berkemampuan untuk mengkaji dalil-dalilnya.
Apalagi jika ditemukan bahwa dalil-dalil mereka lebih kkuat dari dalil yang
sedang diamalkan sekarang ini.
Al Izz bin
Abdussalam berkata: .. maka ketika ada madzhab yang menurutnya lebih kuat, maka
bagi orang yang taqlid itu diperbolehkan mengikutinya meskipun di luar empat
madzhab.”
d.
Diperbolehkan
iltizam/konsisten dengan satu madzhab bagi orang awam
Diantara kesalahan yang menyebar di kalangan kaum
muslimin pada masa ta’ashshub madzhab adalah kewajiban iltizam dengan satu
madzhab saja, dan haram intiqal/berpindah ke madzhab lainnya. Dan jawaban dari
pandangan yang sektarian ini adalah larangan iltizam dengan satu madzhab. Kedua
pendapat ini tanpa dalil.
Kewajiban iltizam dengan satu madzhab dan larangan
intiqal madzhab lain baik secara umum maupun dalam masalah tertentu, baik
sebelum atau sesudah mengamalkannya, tidak ada dalil syar’inya. Sebab yang
wajib adalah yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu iltizam dengan
hukum syar’iy, dan memperbolehkan kita jika tidak mengetahuinya langsung dari
Al Qur’an dan As Sunnah untuk bertanya kepada ahludzdzikri tanpa ada pambatasan
satu persatunya. Para sahabat bertanya kepada
para fuqaha’nya, adan fuqaha menjawab pertanyaan mereka, dan tidak seorangpun
dari sahabat yang ditanya itu mewajibkannya untuk tidak bertanya lagi kepada
yang lain baik dalam masalah itu maupun masalah yang lainnya. Demikianlah kaum
muslimin di sepanjang masa, sampai di masa empat imam madzhab itu sendiri.
Tidak ada seorangpun dari mereka yang melarang muridnya mengambil pendapat
ulama lain, tidak pernah ada pemikiran yang mewajibkan iltizam dan melarang
intiqal kecuali pada masa belakangan saja.
Demikian juga pendapat yang mengharamkan iltizam
dengan satu madzhab dan menganggapnya sebagai syirik, juga tidak ada dalilnya.
Jika ada seseorang yang merasa cocok dengan salah satu ulama karena
ketaqwaannya, dan selalu lebih ia sukai fatwanya, maka dalam Islam juga tidak
ada dalil yang melarangnya, baik ulama itu dari kalangan empat madzhab atau
selainnya. Yang tidak boleh adalah meyakini bahwa iltizam itu hukumnya wajib
syar’iy. Kemudian jika suatu saat ingin intiqal ke madzhab lain, maka tidak ada
yang menghalanginya, (dengan memperhatikan penjelesan berikut tentang talfiq).
e.
Kewajiban mengikuti dalil
bagi pengikut yang mampu mengkaji
Sedangkan seorang muslim pengikut madzhab yang
sudah mampu mempelajari hukum syar’iy maka kewajibannya adalah mencari dalil
setiap masalah yang dikajinya, mendalaminya, memahami pendapat yang berbeda dan
dalil-dalilnya, kemudian memilih yang paling dekat dengan Kitabullah dan As
Sunnah, meskipun sikap ini membuatnya mengambil madzhab ini dan itu, bahkan
jika mengharuskannya untuk berijtihad sendiri dalam masalah-masalah baru yan
belum dibahas oleh ulama sebelumnya.
Walau
demikian, tidak ada larangan syar’iy bagi seorang muslim pengikut madzhab untuk
mengikuti satu madzhab sehingga dia mampu mempelajari seluruh masalah dengan
keharusan mengikuti dalil yang lebih kuat dan bertahan pada dasar madzhab pilihannya dalam masalah lain. Karena
Allah tidak pernah memberikan taklif kepada seseirang kecuali sebatas
kemampuannya. Terkadang seorang muslim harus berbulan-bulan tafarrugh
(menfokuskan diri) untuk mempelajari satu masalah sehingga dapat menemukan
dalil yang lebih kuat yang memuaskannya. Maka tidak salah kalau dia masih
menjadi muqallid (taqlid) dengan salah satu imam, sehingga ia mampu mempelajari
masalah. Lalu ketika telah menemukan dalilnya masih bersama dengan imam yang
diikutinya, ia bisa bertahan di situ. Dan jika mendapatkan dalil yang kuat ada
pada imam lain, maka ia akn pindak ke pendapat lain.
f.
Diperbolehkan Talfiq
Talfiq artinya mengambil dari berbagai madzhab
untuk satu masalah dan sampai kepada cara madzhab itu berpendapat. Akan kami
jelaskan masalah talfiq dengan singkat berikut ini:
Mengambil satu
masalah dari satu madzhab, dan mengambil masalah lain dari madzhab lain yang
tidak berhubungan dengan masalah pertama diperbolehkan menurut jumhurul ulama
yang tidak mewajibkan iltizam dengan satu madzhab dan memperbolehkan intiqal ke
madzhab lain. Seperti seorang muslim yang shalat dengan madzhab Syafi’iy,
kemudian zakatnya dengan madzhab Hanafi, atau puasa dengan madzhab Maliki.
Iltizam
tentang satu masalah syar’iy dengan satu madzhab, lalu intiqal ke madzhab lain
dalam masalah yang sama. Seperti shalat zhuhur dengan satu madzhab, kemudian
shalat ashar dengan madzhab lain. Hal ini juga diperbolehkan oleh Jumhurul
Ulama yang tidak mewajibkan iltizam dengan satu madzhab.
Bentuk talfiq
yang diperselisihkan boleh tidaknya adalah talfiq dalam satu masalah saja.
Seperti seorang muslim berwudhu mengusap sebagian kepala, sesuai dengan madzhab
Syafi’iy, kemudian menyentuh wanita dan merasa tidak batal, taqlid imam Abu
Hanifah dan imam Malik yang tidak menganggap bersentuhan wanita tidak membatalkan
wudhu, kemudian ia shalat. Para ulama madzhab belakangan mengatakan: wudhu ini
sudah batal, karena telah bersentuhan dengan wanita, dan tidak sah menurut Abu
Hanifah karena mengusap kepalanya tidak sampai seperempat, tidak sah menurut
Imam Malik karena tidak mengusap seluruh
kepala. Talfiq di sini menyeret kepada cara yang tidak diajarkan oleh madzhab
manapun. Inilah yang tidak diperbolehkan.
- Sesungguhnya talfiq jika dilakukan dengan dalil yang kuat dari orang yang mampu mengkaji dalil-dalil hukum syar’iy, diperbolehkan. Karena kewajiban seorang muslim adalah berijtihad untuk dirinya sendiri. Dan ini bukan sisi yang diperselisihkan.
- Sedangkan talfiq yang dilakukan orang awam, diperbolehkan juga, karena madzhabnya orang awam adalah mengikuti fatwa muftinya. Dan orang awam tidak ditugaskan untuk mengkaji madzhab dan melihat sudut-sudut perbedaan, sebab jika dia mampu melakukan hal ini tentu dia menjadi muqallid, bukan awam. Para sahabat ra ketika bertanya tentang satu masalah tidak menanyakan kepda seluruh orang yang mengetahuinya, dan yang ditanya juga tidak mensyaratkan jika sudah mengambil pendapatnya dalam masalah ini agar tidak bertanya kepada oranglain dalam masalah yang sama. Ini artinya bahwa generasi terbaik telah melakukan talfiq, ketika madzhab dan pendapat para sahabat belum dikumpulkan dan dibukukan. Setiap muslim dapat bertanya kepada siapa saja sahabat yang ditemui, lalu bertanya ke sahabat lainnya, tanpa meneliti apakah dua pertanyaan itu berkaitan atau tidak.
- Contoh tentang wudhu di atas, dapat kami jelaskan: Bahwa wudhu itu telah benar menurut madzhab Syafi’iy, sudah benar menurut pandangan Syar’iy, karena madzhab Syafi’iy bukan syari’at yang berdiri sendiri, tetapi pintu yang dipergunakan seorang muslim untuk sampai kepada syari’ah Allah. Ketika sudah masuk ke madzhab itu ia sudah berada di ruang syari’ah, wudhunya benara dalam pandangan syari’ah, jika dia menyentuh wanita dengan mengikuti madzhab Hanafi maka wudhunya tetap sah sesuai dengan madzhab itu, artinya sesuai dengan syari’at Islam, karena madzhab hanafi juga bagian dari syari’at Islam
- Kemudian talfiq yang dilakukan dengan dalil yang kuat, oleh orang yang mumpuni, dan larangan bagi orang awam, akan berkonotasi bahwa ada satu masalah yang haram atas seorang muslim dan halal bagi muslim lainnya. Hal ini tidak bisa diterima dalam hukum Islam yang di antara karakteristiknya adalah menyeluruh. Yang telah halal dalam syari’ah halal untuk semua, dan yang haram untuk dalam syari’ah haram untuk semua.
- Syeikh Ath Tharsusiy, Al Allamah Abus Su’ud, Al Allamah Ibnu Nujaim, Al Allamah Ibnu Arafah Al Malikiy, Al Allamah Al Adawiy dll, telah menfatwakan diperbolehkannya hukum murakkab atau talfiq. [3]
TATABBU’URRUKHAS
DALAM TALFIQ
Ada sebagian orang awam
yang memilih tatabbu’urrukhas dan pendapat-pendapat yang aneh dalam
madzhab-madzhab atau ulama dengan semangat talahhiy (main-main) tasyahhiy
(senang-senang) atau mencari yang paling gampang. Ini boleh atau tidak?
Mayoritas
ulama melarang talfiq yang demikian karena sudah berubah menjadi mengikuti selera.
Dan syari’at Islam melarang mengikuti nafsu. Ibnu Abdul Barr menyebutkan ijma’
larangan ini.
Sebagian ulama
membolehkannya dalam beberapa madzhab, karena tidak ada larangan dalam syari’at
yang melarangnya. Al Kamal bin Al Hammam berkata dalam kitab At Tahrir:
“Sesungguhnya seorang muqallid dipersilahkan mengikuti yang dia kehendaki,
meskipun seorang awam mengambil setiap masalah dengan ucapan mujtahid yang
lebih ringan baginya, saya tidak tahu apa yang melarangnya secara naqli dan
aqli. Keberadaan manusia yang mencari apa yang lebih ringan baginya dari pendapat para mujtahid yang ahli
berijtihad, saya tidak mengetahui celaannya dalam syari’at Islam. Dan adalah
Rasulullah saw menyukai apa saja yang meringankan ummatnya.”
Yang kami
ketahui bahwasannya tidak ada perbedaan hukum syar’iy antara rukhshah dan
azimah, selama masih hukum syar’I yang memiliki dalil sahih. Jika diperbolehkan
talfiq dalam masalah pokok, maka tidak ada sisi larangan untuk memilih yang
mudah-mudah selama rukhshah itu memiliki dalil syar’iy. Tidak bisa dikatakan
bahwa hukumnya makruh jika tidak ada dharurat atau udzur, dan diperbolehkan
tanpa maakruh jika ada kondisi dharurat atau udzur. Rasulullah saw “tidak
pernah diberi pilihan dua hal, kecuali memilih yang paling mudah selama tidak
ada dosa”[4].
Prinsipnya setiap muslim diberi kebebasan memilih antara pendapat-pendapat
produk ijtihadiyah yang berbeda-beda, dan insyaallah pendapat-pendapat itu
tidak ada dosa.
Perlu
diingatkan bahwa talfiq hanya berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang
zhanniy (hipotesis). Sedangkan untuk masalah-masalah yang bersifat qath’iy
tidak ada ruang untuk memilih rukhshah atau talfiq di sana. Sebagaimana jika talfiq atau mencari
rukhshah itu menyeret kepada pelanggaran agama, maka hukumnya haram seperti jika
dengan talfiq itu menyebabkan khamr, zina, dan perbuatan haram lainnya yang
qath’iy menjadi mubah. Hal ini tidak mungkin menjadi halal baik dengan talfiq
maupun dengan cara lain.
AKTIFIS ISLAM DAN ILMU FIQH
Setelah
runtuhanya khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20, maka secara alami para da’I
dan ulama bergerak untuk mengembalikan pemerintahan yang Islamiy dalam
kehidupan umat Islam, maka lahirlah pergerakan-pergerakan dan partai, muncul
lembaga-lembaga dan tampil para ulama yang semua bergerak untuk tujuan itu
dengan menganggapnya sebagai kewajiban agama.
Kebangkitan
Islam yang dikumandangkan di masa sekarang ini, mengcover ruang yang sangat
luas dalam masyarakat muslim, pemerintahan dan partai ssangat membutuhkan upaya untuk menaikkan syi’ar (benderanya)
melipat gandakan gelombangnya disadari atau tidak.
Gelombang
kebangkitan ini dalam banyak sisi masih berupa ssemangat dan perasaan yang
masih sangat membutuhkan pemahaman sehingga mampu memainkan perannya dengan
signifikan. Al wa’yu (keterjagaan) yang bersih hanya bisa dibangun lewan
tafaqquh (pemahaman) yang benar terhadap madzhab-madzhab yang ada di zaman
sekarang ini yang sesuai dengan situasi amal Islamiy kontempoerer. Diantara
kontribusi positif dalam penyadaran pemahamab yang bersih, ingin kami jelaskan
berikut ini beberapa masalah penting, yaitu:
1.
Belajar dan Pengajaran Fiqh
Belajar dan Mengajarkan fiqh Islam adalah kebutuhan
setiap orang yang melakukan amal Islamiy. Sesungguhnya setiap orang yang
mengajak kepada Islam, orang yang memulai hidup Islamiy, harus dimulai dari
diri sendiri, dan belajar bagaimana menjadi pribadi yang hidup Islamiy,
komitmen dengan masalah halal dan haram dalam ibadah maupun muamalah, dan
bahakan setiap sisi hidupnya. Ini semua tidak akan terwujud tanpa belajar fiqh.
Dari itulah
kami nyatakan bahwa apapun harakah Islamiyah yang dilakukan dengan serius
mengharuskannya untuk mempelajari fiqh, kemudian mengajarkannya kepada kaum
muslimin. Karena mengetahui hukum agama adalah langkah pertama untuk iltizam
dengan agam itu. Iltizam seseorang secara individu terhadap hukum-hukum ini
adalah jug alangkah yang harus dilakukan untuk mengantarkan umat Islam
seluruhnya iltizam dengan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya.
Ada sebagian
orang yang menyalah fahami pandangan Asy Syahid Sayyid Quthb, dalam hal ini
yaitu: “tidak menyetujui penggunaan fatwa Islam dalam setiap persoalan
masyarkat modern yang menolak berhukum dengan Islam sejak awal” Dia menganggap
“Usaha untuk mengembangkan fiqh islam untuk menghadapai situasi dan kebutuhan
yang ada dalam masyarakat modern adalah upaya menabur benih di udara” Dia
berpendapat bahwa yang harus dilakukan adalah: “Ushan yang menyadarkan
masyarakat ini untuk tunduk kepada hukum Allah, kemudian setelah itu fiqh akan
berkembang untuk menjawab kebutuhan yang ada secara nyata, dan mencari
solusinya”[5]
ada sebagian orang yang menyimpulkan pernyataan ini bahwa Sayyid Quthb
menyerukan untuk meninggalkan fiqh.
Orang yang
membaca pernyataan Sayyid Quthb ini dengan obyektif akan berkesimpulan bahwa
yang dimaksudkan adalah upaya pembaharuan dan pengembangannya, bukan kekayaan
fiqh yang telah diwariskan oleh para Ulama, dan para Imam, yang di dalamnya
telah diuraikan halal dan haram, peninggalan yang sangat besar yang selalu
bersandar kepada Al Kitab dan As Sunnah, berangkat dari keduanya, meskipun
sering diwarnai oleh warna zaman fiqh itu ditulis. Tidak mungkin ada seorng
muslim yang tidak membutuhkan kekayaan fiqh ini. Sayyid Quthb mengharapkan
usaha pemahaman dan komitmen dengan hukum-hukum syar’I itu. Inilah yang ditulis
Sayyid Quthb: “Tinggallah kewajiban untuk komitmen dengan hukum-hukum Islam itu
yang harus ditegakkan di setiap pundak kaum muslimin yang berada dalam tatanan
masyarkat jahiliyah, dan bergerak menghadapi jahiliyah itu untuk menegakkan
system yang Islamiy…”(Fi Zhilal Al Qur’an juz 13 hal 21
Jika iltizam
dengan hukum syar’iy menjadikan kewajiban, maka mempelajari,memperhatian dan
mengajarkannya menjadi kewajiban yang aksiomatik. Ini juga menjadi konsekwensi
logis dalam upaya penegakan masyarakat Islami dan mengembalikan hukum Allah di
muka bumi. Tidak ada yang bertentangan.
2.
Metode Belajar dan
Pengejaran Fiqh
Tidak diragukan lagi bahwa
terdapat perbedaan serius dalam mempelajari dan mengajarkan fiqih antara
methode madzhab dengan metode salaf. Kami menyadari bahwa perbedaan itu telah
mngalami penggelembungan yang jauh dari
kenyataannya oleh sebagian kelompok sectarian di sana sini, sehingga menyebabkan seikap
mengkafirkan atau menganggap sesat kelompok lain yang berbeda pandangan. Kami
menyadari bahwa wajah dan peran fiqih dalam kehidupan umat Islam tidak akan
terwujud dengan baik kecuali dalam paying negara yang Islamiy. Maka bekerja
untuk menegakkan negeri yang Islami adalah problem utama umat Islam, sedang
perbedaan pengajaran fiqh antara madrasah para madzhab dan madrasah salaf harus
dipertahankan dalam batas dialog yang dipenuhi rasa ukhuwwah untuk mencapi yang
paling afdhal.
Sedang sikap sebagian umat
Islam yang membiarkan musuh-musuh Islam mereka yasa untuk mencerabut hukum-hukum
Islam yang ada, dan menyibukkan umat dengan perang saudara yang menghabiskan
banyak energi tanpa ada hasilnya, tidak akan pernah memberikan kebaikan bagi
Islam atau bagi dua madarasah fiqh itu. Sebab jika ada yang merasa meraih
kemenangan semu, maka tidak akan pernah ditemukan dalam kemenangan itu dampak
positif, setelah hukum dan fiqh Islam telah terabit dari realitas umat Islam
dan digantikan dengan hukum produk orang-orang kafir.
Kami melihat bahwa kedua metode
fiqh itu diajaarkan Islam, dapat diterima dan bermanfaat, dengan syarat para
pembawa madrasah fiqh madzhab menyadari
bahwa fiqh madzhab bukanlah pengganti dari fiqh Al Qur’an dan As Sunnah, tetapi
menyadarinya sebagai rincian dan pencabangan dari kedua sumber itu. Sehingga
yang baku
hanyalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Sebagaimana para pengusung madrasah fiqh
salaf untuk menyadari bahwa khilaf (perbedaan) memahami Al Kitab dan As Sunnah
adalah realitas syar’iy, dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh umat manusia
dengan satu pemahaman saja. Sebagaimana tidak meungkin menjadikan kemampuan
seluruh manusia dengan satu standar pemahaman. Dan bahwa orang yang tidak mampu
memahami teks Al Qur’an dan As Sunnah sendiri maka diperbolehkan untuk merujuk
kepada para ulama dan para imam yan membantunya memahami agama, khususnya empat
imam madzhab yang madzhabnya telah diterima oleh umat Islam, juga imam-imam
lain, termasuk ahul bait Nabi, ulama’ny para sahabat Nabi, dan Tabi’in jika
dapat memperoleh pendapat mereka yang sahih dan valid.
Kami berpendapat bahwa ruang
lingkup amal Islami harus mencakup dua madrasah itu, karena kewajiban syar’iy
menghendaki keduanya. Kami melihat bahwa suasana tsiqah (saling percaya) dan mahabbah (cinta) harus merata kepada
seluruh umat sehingga mereka dapat bersama-sama menghadapi perang besar melawan
musuh-musuh Islam. Dari itu kami nasehatkan berikut ini:
a.
Mempelajari dan mengajarkan fiqh
sesuai dengan salah satu madzhab empat imam adalah masyru’, tetapi kami
sarankan untuk mencari rujukan pendapt para madzhab itu kepada sumber utamanya
yaitu Al Kitab dan As Sunnah. Dan hendaklah orang yang mempelajarinya menengok
pendpat masdzhab lain jika memungkinkan. Dijelaskan kepadanya juga bahwa
pendapat-pendapat yang lain itu juga benar, dan sangat baginya untuk berpindah
mengikuti pendapt itu jika merasa lebih cocok –jika memiliki cukup alas an
syar’iy, atau ketikadalam kondisi darurat. Seorang da’I yang bisa mengkaji
perbedaan pendapat dalam satu masalah akan menjadikannya lebih lunak bersama
dengan orang lain, tidak kecewa kepada mereka, karena satu pendapat lalu
menuduhnya sesat, karena ada pendapat lain, membuka perang horizontal tanpa ada
alasan yang membenarkan.
b.
mempelajari dan mengajarkan fiqh
langsung dari Al Qur’an dan As Sunnah juga masyru’, dan merupakan dasar kajian.
Akan tetapi melihat pandagan para ulama dan madzhab-madzhab yang ada merupakan
dharuriyah (kaharusan) untuk memahami teks dengan baik. Hal ini sangat
dibutuhkan oleh para da’I yang berinteraksi dengan kaum muslimin secara luas
yang menjadi pengikut salah satu madzhab. Masalah fundamental bagi para da’I
bukan mengeluarkan jumhurul ummat dari pandangan satu imam kepada imam lainnya
dalam masalah furu’iyah, akan tetapi agenda utamanya adalah mengentaskan
jumhurul ummat ini dari hukum jahiliyah buatan manusia untuk menegakkan
syari’at Allah. Dari itu tidak ada gunanya menyuruh orang meninggalkan madzhab
yang telah dipilih, untuk mengikuti ijtihad sang da’I, dengan dalil bahwa itu
bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Harus diketahui bahwa mayoritas
pendapat yang dinisbatkan kepada nash sesungguhnya hanyalah sekedar pemahaman
terhadap nash itu, dan tidak ada yang bisa menghalangi keberadaan pemahaman
lain. Dan bahwasannya pendapat para imam madzhab minimal adalah pemahaman yang lain yang memiliki dalil.
c.
Kami sangat mengharapkan kalau
para aktifis Islam, dan para da’I adalah orang-orang yang mampu mengkaji
hukum-hukum agama beserta dalilnya. Dapat diselenggarakan bagi mereka itu
forum-forum diskusi dari waktu ke waktu seputar masalah-masalah yang
diperselisihkan dalam suasan penuh mahabbah dan penuh tsiqah. Forum-forum ini
akan memperluas pandangan dan wawasannya. Barangkali ada titik temu antara
mereka itu dalam satu pandangan, meskipun titik temu itu tidak akan pernah
menjadi satu-satunya pandangan bagi seluruh umat Islam.
3.
Fiqh amal Islamiy atau Fiqh
Perubahan
Sesungguhnya amal Islamiy sekarang ini bertujuan
untuk membangun masyarakat islamiy dan negara yang islamiy. Hal ini harus
menjadi agenda utama dalam kehidupan setiap muslim, karena ia merupakan
perintah agama yang sangat penting yang jika diwujudkan maka seluruh perintah
agama lainnya akan terlaksana. Dan jika belum terealisir maka seluruh ajaran
agama yang lain akan tersembunyi dan terkontaminasi.
Sesungguhnya
usaha kaum muslimin, dalam level ulama, pergerakan, dan golongan untuk
menegakkan hukum Islam, harus dipandu juga dengan fiqh syar’iy, baik dalam
pembatasanmarhalah (level), atau metodenya dan segala yang berhubungan
dengannya. Fiqh jenis ini tidak pernah dibahas oleh para ulama kita di masa
lalu, karena mereka memang tidak membutuhkannya. Fiqih inilah yang disebut oleh
Sayyid Quthb dengan “Fiqhul-harakah” sebagai bandingan dari
“Fiqhul-Auraq/kertas” yang tidak dapat mewakili keseluruhan fiqhutturats,
tetapi hanya bermuatan sebagian sisi fiqh yang masih merupakan ungkapan di atas
kertas dan belum terealisir. Sedangkan fiqhul-halal wal haram yang diterapkan
secara pribadi, maka tidak disebut Sayyid Quthb sebagai fiqhul-auraq. Fiqh
inilah yang diserukan untuk ditekuni dan diamalkan dengan sepenuh hati.
Fiqh yang
harus dipelajari setiap aktifis Islam hari ini adalah pendalaman hukum-hukum
yang mengharuskan amal Islamiy modern ini, baik dari sisi pentahapan amal,
metode amal, hubungan dengan orang lain yang muslim maupun non muslinm, dengan seluruh muatan hubungan ini
mulai dari perdamaian, gencatan senjata, koalisi, peperangan, dll sehingga perjalanan para aktifis itu
dipandu oleh bukti dan petunjuk yang jelas. Fiqh semacam ini tidak untuk
menggantikan fiqhul-ibadat dan muamalah serta bab fiqh lainnya. Fiqh ini hanya
sebagian dari fiqh itu. Para ulama kita telah
mengkajinya sesuai dengan suasana saat itu, dan sekarang membutuhkan pengkajian
ulang dalam ruang lingkup kondisi sekarang.
Dua fiqh ini
–fiqhutturats dan fiqhul harakat- keduanya sangat dibutuhkan dan menjadi
kewajiban, sedangkan fiqhul-auraq adalah fiqh yang ditolak meskipun bagian dari
peninggalan klasik. Itulah fiqh yang mengada-ada masalah yang pernah ditolak
oleh para imam di masa lalu. Mereka berkata kepada penanya masalah yang
mengada-ada itu dengan pernyataan: “Biarkan sampaia ada dahulu”. Itulah cara mereka ketika hukum Islam telah
tegak berdiri, apakah pantas di zaman sekarang ini untuk kita mengurusi
masalah-masalah yang tidak terjadi, dengan melupakan problema umat Islam yang
lebih besar dan serius?
4.
Diantara Keistimewaan Fiqh
Islam adalah Lengkap dan Realistis
Sesungguhnya
fiqh Islam yang komprehensif, dan perhatiannya terhadap seluruh problema umat
Islam dalam skala peersonal dan komunal adalah sesuatu yang aksiomatik, karena
fiqh itu merupakan produk dari ajaran Islam yang komprehensif. Fiqh yang tidak
melarang untuk memberikan perhatian lebih pada salah satu sisi fqih dari pada
sisi lainnya jika memang kebutuhan kepadanya lebih besar, yang dilarang oleh
fiqh Islam adalah mengabaikan salah satu sisi fiqh dengan pengabaian total,dan
membengkakkan perhatian pada fiqh lainnya. Jika fiqh ibadah telah mendapatkan
porsi besar dalam sejarah Islam kita karena situasi yang telah kita ketahui
semua, maka hal ini tidak boleh membuat kita meninggalkan sisi fiqh lainnya.
Sangat mungkin menjadi kewajiban atau yang lebih bermanfaat bagi umat kita hari
ini adalah pendalaman dan pengorsinilan fiqhul harakah agar serasi dengan
fiqhul ibadah.
Fiqh Islam
adalah fiqh yang riil. Definisi fiqh seperti yang tersebut di atas adalah
sekumpulan hukum Islam yang wajib ditaati setiap muslim dalam kahidupan
praktisnya. Dengan demikian maka fiqh Islam bukan fiqh yang mengada-ada.
Realitas fiqh Islam mengharuskan perhatian fiqh itu untuk menjelaskan
hukum-hukum syar’iy dalam setiap masalah yang terjadi. Dan masalah terpenting
yang dihadapi kaum muslimin hari ini adalah usaha untuk mengembalikan kejayaan
hukum Islam. Maka fiqh Islam harus pula menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan
dengan usaha ini.
Kelenngkapan
dan relitas fiqh Islam pada zaman sekarang ini mengharuskan kita untuk
memberikan perhatian utuh kepada fiqhutturats dan fiqhul harakah sehingga
keduanya saling melengkapi, dan kita tidak boleh sekalipun menjadikan dua fiqh
ini saling berhadap-hadapan (diadu). Seorang da’I tanpa fiqh seperti orang yang
berjalan di padang pasir tanpa bekal, dan ahli fiqh yang
tidak terlibat dengan aktifitas saudaranya dalam memikul beban berat usaha
mengembalikan kekuasaan Islam –sedangkan ia orang yang pertama kali mengetahui
hukum wajibnya atas setiap muslim- maka ia tidak akan pernah menjadi contoj
kebaikan sebagai seorang ulama yang mengamalkan ilmunya.
METODE FIQH DALAM KITAB INI
Dalam kitab ini kami menempuh cara khusus, yaitu dengan
berpegang pada:
- Kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah semaksimal mungkin, agar hukum-hukum syar’iy memiliki paying dan berhubungan dengan sumber pokoknya, dan agar memudahkan orang yang mencari dalil menggunakan kitab ini.
- Menyebutkan pendapat yang paling penting dalam masalah-masalah yang diperselisihkan, dengan mengadopsi salah satunya jika dalilnya jelas dan menguatkan. Kemudian menyebutkan pendapat-pendapat lainnya dalam urutan redaksi maupun pada catatan kaki.
- Kesungguhan untuk mencantumkan pendapat empat madzhab semaksimal mungkin agar bagi siapapun yang ingin beriltizam dengan salah satunya dapat menggunakan kitab ini.
- Dalam kesempatan tertentu, kami sebutkan pendapat imam lain di luar empat madzhab, sejalan dengan pendapat kuat yang memperbolehkan bertaqlid kepada selain empat madzhab.
- Kami berupaya agar kitab ini menjadi permulaan kajiab fiqh para aktifis islam, untuk merealisasikan pikiran besar yang telah kami sebutkan di atas. Dan kemungkinan dijarkan dalam halaqah para pemula, dalam madrasahnya salafi maupun madzhabiy, dan memungkinkan para pengkajinya untuk berpindah kepada kajian kitab fiqh lain dengan terbuka dan jauh dari sikap sectarian, penuh kelenturan yang tidak mengarah kepada pelunturan. Jika hal ini berhasil, maka itulah pertolongan Allah, dan jika kami salah maka harapan besar kami akan rahmat dan ampunan Allah.
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
[1]
Selengkapnya hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhariy dalam Kitabul Maghaziy
[2] Lihat
Kitab Al Ahkam, Al Amidiy dan Al Mushtashfa, Al Ghazali
[3] lihat
Kitab Ushul Fiqh Al Islamiy DR. Wahbah Az Zuhailiy
[4] Muatan
hadits ini dengan redaksi yang berbeda-beda dalam shahih Bukhari Muslim,
Muwaththa’ Malik, Musnad Imam Ahmad dan Sunan Ad Darimiy
[5] cuplikan
dari buku” Al Islam wa Musykilatul-hadharah”. Sayyid Quthb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar