Sabtu, 16 Agustus 2014

PENGANTAR UMUM ILMU FIQIH









MATERI TARBIYAH
MARHALAH TAMHIDI
 المقدمة
الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على سيدنا محمد ، وعلى آله وصحبه ، ومن دعا بدعوته وسار على سنته إلى يوم الدين. وبعد .
Fiqh ibadah telah mendapatkan porsi besar dalam sejarah fiqh kita. Telah ditulis beribu-ribu buku, ada yang ringkas, ada yang luas. Ada yang focus pada hukum-hukum yang dikukuhkan dengan dalil Al Kitab  dan As Sunnah, ada pula yang terikat dengan satu madzhab, atau perbandingan antar madzhab, atau yang langsung digali dari Al Qur’an dan As Sunnah. Semua jenis kitab mendapat sambutan pada sebagian umat Islam dan penolakan dari sebagian yang lain.
Menurut dugaan kami, fiqhul ibadah tidak banyak membutuhkan buku yang mengulang-ulangnya apa yang sudah ada di masa lalu, dengan merubah judul, bab, maupun redaksinya. Akan tetapi yang dibutuhkan mendesak adalah metode baru dalam menemukan fiqh secara menyeluruh –termasuk di dalamnya adalah fiqhul ibadah- yang sejalan dengan realitas Islam dan kaum muslimin, agar fiqh mampu kembali menjadi factor utama pembangunan masyarakat islamiy yang dinanti-nanti, dan agar berperan maksimal dalam kebangkitan Islam sekarang ini. Inilah yang kami upayakan dalam ktab ini. Dengan senantiasa bermohon kepada Allah agar menghindarkan kami dari ketergelinciran.
Kami memandang perlu menyajikan kitab ini disertai dengan pembahasan urgen tidak hanya untuk memahami metode mendapatkan fiqh, tetapi juga untuk menentukan sikap yang tepat, yang sebaiknya dipilih oleh para aktifis Islam, dan para da’I, penyeru ke jalan Allah, untuk setia dengannya menghadapai serangan pemahaman yang beraneka ragam, sehingga tidak menghilangkan peran utamanya dalam usaha serius menegakkan hukum Allah di muka bumi.


METODE MEMAHAMI FIQH

Al Fiqh adalah sekumpulan hukum syar’iy yang wajib dipegangi oleh setiap muslim dalam kehidupan praktisnya. Hukum-hukum ini mencakup urusan pribadi maupun sosial, meliputi:
1.      Al Ibadah: yaitu hukum yang berkaitan dengan shalat, haji dan zakat. Inilah yang menjadi tema kitab ini
2.      Al Ahwal asy Syahsiyyah: yaitu hokum yang berkaitan dengan keluarga sejak awal sampai akhir
3.      Al Mu’amalat: yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu dengan yang lain seperti hukum akad, hak kepemilikan, dll
4.      Al Ahkam As Sulthaniyah: yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan negara dan rakyat
5.      Ahakmus silmi wal harbi: yaitu yang mengatur  hubungan antar negara

Sesungguhnya kompleksitas fiqh Islam terhadap masalah-masalah ini dan sejenisnya menegaskan bahwa Islam adalah jalan hidup yang tidak hanya mengatur agama tetapi juga mengatur negara.

DARI MANA HUKUM-HUKUM SYAR’I DIGALI?
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa referensi dasar setiap muslim untuk menggali hukum-hukum Islam adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Perbedaan pendapat terjadi pada sumber-sumber hukum lainnya, yaitu: Ijam’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan al urf/adapt kebiasaan.
Kenyataannya sumber-sumber yang berbeda-beda ini tetap merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul juga. Dari itulah dapat dikatkan bahwa : Al Qur’an dan As Sunnah adalah dua referensi setiap muslim untuk mengetahui hukum Islam…” hal  ini  tidak berarti kita menolak sumber hukum lainnya, akan tetapi sumber-sumber hukum yang lain itupun merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

MACAM-MACAM HUKUM SYAR’I

Hukum Syariy ada dua macam, yaitu:
1.      QATH’IY, yaitu sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah dengan kesimpulan yang qath’iy/ pasti: seperti:  
  • Kewajiban shalat, dari firman Allah.: . وأقيموا الصلاة .
  • Kewajiban puasa, dari firman Allah: فمن شهد منكم الشهر فليصمه
  • Kewajiban zakat, dari firman Allah: . . وآتوا الزكاة .
  • Kewajiban haji, dari firman Allah: . ولله على الناس حج البيت
  • Larangan riba, dari firman Allah: .  وذروا ما بقي من الربا
  • Larangan zina dari firman Allah: . . ولا تقربوا الزنا .
  • Larangan khamr, dari firman Allah: . . فاجتنبوه لعلكم تفلحون
  • Kedudukan niat, karena sabda Nabi: . إنما الأعمال بالنيات .
Hukum syar’iy yang bersifat qath’iy ini tidak ada peluang khilaf/beda pendapat di antara kaum muslimin di level: ulama, madzhab, dan umat secara umum. Sebab semua itu adalah hukum-hukum agama yang secara aksiomatis diterima sebagai dharuriyyat/kepastian. Dan jumlahnya relative lebih kecil dibandingkan dengan hukum syar’iy yang zhanniy.

2.      ZHANNIY, meliputi:
Sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan Sunnah dengan kesimpulan zhanniy/hepotesa.
Sekumpulan hukum yang digali oleh para ulama dari sumber-sumber syariy yang lain dengan berijtihad. Di antara contoh bagian pertama adalah:
·        Besaran usapan kepala yang wajib dilakukan dalam berwudhu, seluruh kepala menurut Imam Malik dan Ahmad, cukup sebagiannya menurut Abu Hanifah dan Asy Syafi’iy. Hal ini karena huruf “BA” dalam firman Allah:  وامسحوا برؤوسكم dapat difahami dengan berbagai pemahaman, dan tidak terbatas pada satu makna.
·        Jarak perjalanan musafir yang memperbolehkan berbuka bagi orang yagn berpuasa, dan mengqashar shalat. Empat pos menuurt madzhab Malikiy, Syafi’iy dan Hanbali, sekitar 90 km. karena hadits Al Bukhari: Bahwasannya Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud ra keduanya mengqashar shalat dan berbuka pada jarak empat pos. Menurut madzhab Hanafiy jaraknya adalah perjalanan tiga hari, (sekitar 82 sampai 85 km) karena hadits Al Bukhariy: Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kahir, melakukan perjalanan sejauh tiga hari tanpa disertai mahram.
Dan jelas sekali, bahwa pengambilan kesimpulan dari hadits di atas bersifat zhanniy/hepotesis.
Diantara contoh jenis kedua adalah:
·        Isteri orang yang hilang yang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah mati. Ijtihadnya madzhab Hanafi dan Syafi’i memutuskan bahwa wanita itu menunggu sehingga orang-orang yang sebaya dengan suaminya itu mati, sehingga dapat menyimpulkan bahwa suaminya sudah mati, dan katika itu baru diputuskan berakhirnya status suami isteri dan diperbolehkan menikah dengan orang lain. Dalilnya adalah bahwa orang yang hilang itu semula dalam keadaan hidup. Dan prinsipnya ia masih hidup sehingga ada dalil kematiannya. Ini adalah dalil ijtihadiy yang bersifat zhanniy. Sedangkan dalam ijtihadnya madzhab Malikiy, dapat diputuskan berakhirnya status suami isteri antara suami yang hilang, sesuai dengan permintaan isteri setelah lewat masa empat tahun hilang dalam keadaan damai ( bukan perang) dan satu tahun dalam keadaan perang. Dalilnya adalah menjaga maslahat isteri dan mencegah hal-hal buruk baginya, menghindari kerugian yang timbul dengan mempertahankannya dalam keadaan tergantung. Hal ini juga bersifat ijtihadiy dan zhanniy.

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH ISLAM

1.      DI MASA RASULULLAH SAW
Rasulullah saw semasa hidupnya menjadi referensi setiap muslim untuk mengetahui hukum agamanya. Baik hukum itu diambil dari Al Qur’an maupun dari Sunnahnya; yang mencakup: Perbuatannya, ucapannya, dan ketetapannya. Hokum yang Rasulullah perintahkan adalah hokum Allah yang bersifat qath’iy meskipun berbentuk pemahaman terhadap ayat Al Qur’an atau tafsirnya. Karena peran Rasulullah adalah menjelaskan Al Qur’an. Firman Allah:   … Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An Nahl: 44),akan tetapi para sahabat tidak selalu dekat dengan Rasulullah sehingga setiap saat bias bertanya kepadanya tentang hokum agama yang muncul, sebab di antara para sahabat ada yang musafir, muqim di negeri yangjauh. Maka apa yang bisa mereka lakukan jika ada masalah.
Para sahabat berijtihad sebatas kemampuan dan pengetahuan mereka tentang hokum-hukum Islam dari prinsip-prinsip Islam yang bersifat umum. Sehingga ketika berjumpa dengan Rasulullah saw, mereka bertanya tentang apa yang dihadapi. Kemungkinan Rasulullah mengiyakan ujtihad mereka, atau meluruskan jika ada kesalahan, tetapi Rasulullah tidak pernah sekalipun menolak prinsip ijtihad mereka. Seperti hadits Ammar bin Yasir ra berkata: Rasulullah mengutusku melaksanakan satu tugas, lalu saya junub dan tidak menemukan air. Kemudian aku berguling-guling di tanah seperti hewan. Kemdian aku menemui Nabi dan aku ceritakan hal ini, lalu bersabda: Sesungguhnya sudah cukup bagimu dengan kedua tanganmu, lalu Nabi memukulkan tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian mengusapkan yang kiri pada tangan kanan, punggung tangan dan wajahnya. HR Asy Syaikhani dengan redaksi Muslim.
Kadang sekelompok sahabat berbeda ijtihadnya sehinggga ketika masalah itu disampaikan kepada Rasulullah saw, menetapkan ijtihad yang benar dan menjelaskan kesalahan yang salah. Pernah juga menerima dua ijtihad yang bertentangan, sebagaimana ketika memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke Bani Quraidhah dengan bersabda: “Janganlah ada seseorang yang shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah.[1]
Kaum muslimin segera berangkat, dan waktu ashar hampi habis sebelum mereka sampai di Bani Quraidhah. Ada sebagian yang berijtihad dan shalat di jalan sehingga tidak ketinggalan waktu ashar. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak menghendaki kita untuk mengakhirkan shalat ashar lewat waktunya. Dan yang lainnya berijtihad dengan tidak shalat ashar sehingga sampai di Bani Quraidhah sesuai dengan perintah Nabi, sehingga mereka shalat ashar setelah isya’. Maka ketika hal ini sampai kepada Nabi, Nabi tidak mengingkari kedua kelompok ini. Ini menunjukkan kemungkinan multi kebenaran hokum syar’iy untuk satu masalah hokum.

2.      SEJAK WAFAT NABI SAMPAI WAFATNYA EMPAT IMAM MADZHAB
Setelah Rasulullah saw wafat dan wilayah-wilayah baru Islam sangat luas. Mulailah kebutuhan ijtihad para sahabat meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
a.       Masuknya Islam ke masyarakat baru membuat Islam berhadapan dengan problema yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw, tidak ada wahyu yang turun, dan terdapat keharusan untuk mengetahui hokum agama dan penjelasannya.
b.      Seorang sahabat Nabi tidak mengetahui keseluruhan sunnah Nabi. Karena Rasulullah saw menyampaikan atau mempraktekkan satu hukumsyar’I di hadapan sebagian sahabat, atau bahkan di hadapan satu orang sahabat saja, tidak diliput oleh keseluruhan sahabat. Hal ini mendorong sebagian sahabat berijtihad dalam masalah yang tidak diketahuinya dari Rasulullah saw, pada saat yang sama mungkin sahabat lain menerima langsung hokum syar’I ini dari Rasulullah.
Jarak antara para sahabat yang berjauhan setelah wafat Umar bin Al Khaththab ra terbukalah ruang tampilnya dua madrasah yang berbeda dalam menggali fiqh:
  1. Madrasatul Hadits di Hijaz, disebut demikian karena kebanyakan mereka berpegang kepada riwayat hadits. Hijaz adalah lahan Islam pertama. Setiap penduduknya kadang memiliki satu hadits atau lebih. Sebagaimana tabiat dan problem masyarakat yang tidak mengalami banyak perubahan, sehingga tidak memerlukan ijtihad.
  2. Madrasatur-ra’yi di Kufah. Disebut demikian karena banyak menggunakan akal dalam mengenali hukum-hukum syar’iy. Hal ini terpulang kepada sedikitnya hadits akibat sedikitnya sahabat di sana, dan karena banyaknya problema baru dalam masyarakat baru yang tidak ada dasarnya sama sekali.
Pada awalnya perbedaan antara dua madrasah itu sangat tajam, hanya saja kemudian semakin menyempit bersama dengan perkembangan waktu, khususnya setelah pembukuan buku-buku hadits. Ditambah oleh keseriusan para ulama untuk menyaring dan menjelaskan mana yang shahih, dhaif/lemah, dan palsu, sehingga tidak banyak membutuhkan pendapat kecuali ketika tidak ada nash untuk satu masalah yang timbul. Adapun berijtihad dalam alur nash itu sendiri sudah ada di madrasatul hadits sebagaimana terdapat di madrasaturra’yi.
Pada fase inilah terjadi perkembangan fiqh yang sangat besar, dan menjadi satu ilmu tersendiri, dengan menampilkan ulama-ulama besar, yang terkenal adalah ulama empat madzhab, yaitu:
  1. Abu Hanifah, An Nu’man bin Tsabit (80-150 H) dikenal dengan sebutan al imam al a’zham (ulama besar), berasal dari Persia. Pemegang kepemimpinan ahlurra’yi, pencetus pemikiran istihsan (menganggap baik sesuatu), dan menjadikannya sebagai salah satu sumber hokum Islam. Kepadanyalah madzhab Hanafi dinisbatkan.
  2. Malik bin Anas Al Ashbahi (93-179 H) Dialah imam ahli Madinah, menggabungnya antara hadits dan pemikiran dalam fiqihnya. Dialah pencetus istilah Al Mashalih al Mursalah (kebaikan yang tidak disebutkan dalam teks) dan menjadikannya sebagai sumber hokum Islam. Kepadanyalah madzhab Maliki dinisbatkan.
  3. Muhammad bin Idris Asy Syafi’I Al Qurasyi (150-204 H) Madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits, meskipun ia banyak mengambil ilmu dari pengikut Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Kepadanyalah madzhab Syafi;iy dinisbatkan
  4. Ahmad bin Hanbal Asy Syaibaniy (164-241 H) Dia adalah murid imam Syafi’I, dan madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits
Dan kenyataannya sebelum munculnya para imam ini, bersama dan sesudah mereka itu terdpat ulama-ulama besar yang tidak kalah perannya terutama ulama di kalangan sahabat, seperti Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar dan Zaid bin Tsabit. Demikian juga ulama di masa tabi’in seperti Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, Ibrahim an Nakha’iy, Al Hasan AL Bashriy, Mak-hul dan Thawus. Kemudian para gurunya empat imam madzhab itu, dan ulama semasanya seperti Imam Ja’far Ash Shadiq, Al Auza’iy, Ibnu Syubrumah, Al Laits bin Sa’d, dll.
Akan tetapi empat imam madzhab itu memiliki para pengikut  yang merangkum pendapatnya, merapikannya, menjelaskannya, atau meringkasnya untuk disajikan dengan mudah kepada kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin dapat memperoleh apa saja yang membantunya memahami hukum Islam dengan tersusun rapi. Kemudian diajarkan di masjid-masjid beberapa tahun. Demikianlah sehingga menjadi pondasi bagi kehidupan kaum muslimin, membuatnya sudah cukup sehingga mereka tidak perlu merujuk kepada buku-buku tafsir, atau hadits untuk mengetahui hukum Islam. Karena telah disajikan dengan methode madzhab fiqh yang instant.

3.      SEJAK WAFATNYA EMPAT IMAM MADZHAB SAMPAI RUNTUHNYA KHILAFAH UTSMANIYAH
Kaum muslimin menerima empat madzhab ini dengan talaqqi, dan menjadikannya sebagai pegangan fiqh Islam. Para ulama mempelajari dan mengajarkannya. Mulailah fiqh menyebar luas dari terapi masalah sampai pada analisa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Kajian-kajian fiqh tersebar luas, dan mulai muncul fanatic madzhab yang menjadikan pengikut suatu madzhab menganggap dirinyalah yang Islam, dari yang semula hanya merupakan hukum dan pendapat yang berkembang dalam batas-batas ajaran Islam yang luas. Kemudian para ulama empat madzhab itu mengeluarkan fatwa tentang tertutupnya pintu ijtihad, sehingga orang-orang yang tidak berkompeten tidak masuk ke wilayah ini, lalu diikuti oleh orang-orang awam sehingga umat Islam berada dalam gelombang ketidakpastian yang mendelet apa yang sudah dibangun oleh para ulama besar sebelumnya.
Demikianlah sehingga berubah kepada taqlid. Para ulama mengarahkan usahanya untuk mencari dalil atas pendapat-pendapat madzhab, berijtihad di dalam madzhab, mentarjih antara pendapat yang berbeda-beda dalam satu madzhab. Jadilah fiqh berputar dalam dirinya sendiri. Seorang ulama fiqh mensyarah (menjelaskan) kitab fiqh imam sebelumnya dengan penjelasan rinci berjilid-jilid besar, lalu datang ulama berikutnya yang meringkasnya, kemudian ada yang memberikan ta’liq (catatan) atas ringkasan itu untuk menguraikan sebagian ketidak jelasan, lalu ada yang menulis hasyiyah (catatan pinggir)nya, kemudian ada yang kembali menguraikannya dengan detail. Demikianlah fiqh mengalami kejumudan untuk menguraikan realitas yang ada. Terjadi pembengkakan kajian masalah ibadah sementara masalah-masalah politik Islam, masalah mu’amalat. Sehingga ketik aterjadi serangan Barat terhadap negeri Islam pada akhir abad sembilan belas ditemukan banyak sekali orang-orang yang sudah kalah jiwanya, lalu menerima banyak sekali fikiran Barat yang bertentangan dengan syari’at Islam dan menanggalkan atiribut ke-Islam-an. Sehingga ada seorang tokoh yang berfatwa memperbolehkan uang riba untuk memberi makan anak-anak yatim, mengesahkan aturan yang menyamakan hak laki-laki dan wanita dalam memperoleh harta warisan.
Buah dari fanatic madzhab adalah kejumudan fiqh yang melatar belakangi runtuhnya khilafah Utsmaniyah.
Pada masa itu memang ada ulama yang menyerukan untuk menolak taqlid. Banyak juga di antara ulama madzhab yang berijtihad dan berbeda dengan pendapat madzhabnya, dengan mentarjih pendapat madzhab lainnya. Tetapi terpaku dengan satu madzhab fiqh menjadi cirri menonjol mayorotas umat Islam saat itu, terutama ketika ada suara dari sebagian pengikut madzhab yang fanatic melarang pindah ke madzhab lain.

4.      SEJAK RUNTUHNYA KHILAFAH UTSMANIYAH SAMPAI HARI INI
 Fase ini ditandai dengan semakin luasnya perbedaan antara dua madrasah fiqh:
a.       Al Madrasah Al Madzhabiyyah: yaitu madrasah pengikut empat madzhab yang menganggap telah tertutupnya pintu ijtihad, dan keharusan seorang muslim untuk konsisten dengan salah satu dari empat madzhab.
b.      Al Madrasah as Salafiyah, yaitu madrasah yang menghendaki kembali langsung kepada Al Qur’an dan As Sunnah, melarang seorang muslim taqlid dalam masalah furu’, mewajibkannya berijtihad, mengkaji dan mengambil langsung dari teks Al Qur’an dan Sunnah. 
Memang pertarungan ini sudak ada sejak fase sebelumnya, akan tetapi pada fase ini pertarunan itu semakin tajam dan meluas, dan menjadi tema pentinf dalam diskusi-diskusi antara para ulama dan pencari ilmu, bahkan di kalangan awam. Pendukung masing-masing madrasah menulis buku, menyebarkan artikel untuk mendukung pandangannya.
Luasnya ruang dialog berdampak luas bagi mundurnya masing-masing pendukung madrasah itu dari sikap sektariannya, dan dapat mempersempit ruang perbedaan, dan bahkan terjadi pencairan, kalau saja tidak ada orang-orang yang ta’ashshub/ fanatic terhadap masing-masing madrasah, yang terus mempertahankan sikap sekatariannya yang mengundang reaksi fihak lainnya.
Kami akan berusaha untuk mengambil batas-batas qaidah syar’iy, yang memungkinkan dua madrasah itu bertemu, dan jauh dari sikap sektarian dan fanatic, yaitu:
a.      Masyru’iyyah (disyari’atkannya) Taqlid
Taqlid artinya mengikuti pendapat seorang ulama tanpa mengatahui dalil kebenaran pendapat itu. Hal ini disyari’atkan bagi kaum muslimin yang awam dalam masalah-masalah fiqh. Dalilnya antara lain:
1.      Firman Allah: …; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, QS. An Nahl: 43
Perintah Allah ini pada orang yang tidak mengetahui hokum agama untuk bertanya kepada ahludz dzikr, yaitu orang-orang yang mengetahuinya. Dan yang terendah dalam perintah ini adalah al ibahah/boleh. Kesimpulannya: diperbolehkan bagi orang awam untuk bertanya kepada ulama dan mengikuti pendapatnya.
2.      firman Allah:  Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. QS. At Taubah: 122
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa tidak mungkin seluruh kaum muslimin mempelajari fiqh, akan tetapi ada sekelompok orang yang focus, kemudian mengajarkannya kepada saudara-saudaranya. Jika memungkinkan atau semua umat Islam disuruh mendalami fiqh dalam setiap masalah furu’iyah maka Allah tidak memberikan larangan di atas.
Realitas sahabat ra yang merupakan generasi terbaik, hanya terdapat sedikit fuqaha, dan mayoritas mereka meruju’ kepada para fuqaha yang minoritas itu untuk mendapatkan fatwa masalah-masalah agamanya. Menerima fatwanya tanpa menanyakan apa dalilnya, kecuali dalam kondisi tertentu.
Rasulullah saw mengutus seorang ulama, atau qari’ (pembaca Al Qur’an) dari kalangan sahabat ke satu qabilah untuk mengajarkan Islam dan Al Qur’an. Kabilah itu menerima saja dari sahabt itu tanpa menanyakan apa dalilnya.
Demikianlah ijma’ (kesepakatan) sahabat tentang diperbolehkannya orang awam mengikuti seorang mujtahid. [2]
Logis dan riilnya: Apa yang bias dilakukan oleh seorang muslim yang awam, dan tersibukkan dengan urusan pekerjaan? Apa yang bisa dilakukan seorang arsitek, dokter, dll jika menghadapi masalah agama? Apakan kita mengharuskannya untuk mengkaji buku-buku tafsir, dan hadits untuk mendapatkan nash atau tidak? Lalu jika tidak menemukan maka harus merujuk kepada buku-buku bahasa, agar memahaminya. Jika menemukan lebih dari satu nash maka harus mentarjih salah satunya. Dan ini tidak akan terjadi kecuali setelah melakukan kajian panjang, mengetahui nasakh mansukh, dll. Jika tidak menemukan nash, kita haruskan berijtihad. Sementara seseorang tidak akan bisa berijtihad jika tidak memilki kemampuan ijtihad.
Dan ketika kita perketat syarat ijtihad maka kebanyakan orang tak akan mampu, sebagaimana yang terjadi sekarang ini, atau akan terjadi ijtihad tanpa batasan syar’iy, tanpa ilmu. Dan ini lebih berbahaya daripada mengembalikan mereka kepada ulama yang telah menfokuskan diri untuk menggali hukum.
Realitas madrasah salafiyah sendiri –sudah tidak rahasia lagi- bahwa ulama madrasah ini banyak berbeda pendapat satu dengan yang lainnya dalam masalah hukum Islam, bisa karena perbedaan penafsiran, atau mentashih hadits, atau dalam menggali hukum, dan setiap ulama itu memiliki pengikut pendapatnya.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini bukan taqlid tetapi ittiba’ karena pengikut itu mengetahui dalilnya dan menerimanya. Kami katakana: Mengapa para ulama itu tidak mengenali dalil ulama lain dan menerimanya? Apakah ketika seseorang menerima dalil salah seorang ulama dianggap tidak ada nilainya karena berbeda dengan ulama lainnya? Apa bedanya hal ini dengan para pengikut yang menerima dalil yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar, dengan para pengikut taqlid tanpa bertanya tentang dalilnya, karena dia menyadari ketidak mampuannya untuk menerima atau menolak dalil?
Terakhir, telah berlangsung ijma’ tentang diperbolehkannya taqlid sejak abad pertama, meskipun ada sebagian sectarian pengikut madrasah salafiyah yang berbeda pendapat. Pada kenyataannya mereka menerima taqlid itu dengan bentuk lain.


b.      Taqlid bukanlah kewajiban
Diantara kesalahan populis pada fase fanatic madzhab adalah terbaginya kaum muslimin pada mujtahid dan muqallid, lalu tertutupnya pintu ijtihad, sehingga setiap orang menjadi muqallid termasuk para ulama dan pencari ilmu. Karena itulah melemah atau hilang semangat untuk mengkaji, diskusi, dan pendalaman. Obsesi para ulama muqallid hanya terbatas pada pembelaan pendapat madzhabnya meskipun dengan dalil yang lemah, meskipun mereka tidak berhak karena statusnya sebagai muqallid, untuk berbeda dengan madzhab. Al Iz ibn Abdussalam dalam kitabnya: “Qawa’idul Ahkam” mengkritik para fuqaha yang menyikapi kelemahan dalil imamnya, lalu berusaha mencari pembenarannya, dan tidak menemukan pembelaan kelemahannya, tetapi masih saja mengikutinya dengan meninggalkan Al Kitab, As Sunnah dan qiyas yang shahih, karena mempertahankan kejumudan taqlid imamnya.
Kalimat ini tidak kami maksudkan untuk membuka pintu ijtihad yang bisa dimasuki siapa saja tanpa kemampuan yang cukup. Kami hanya bertujuan untuk mengatakan bahwa taqlid dan urgensinya adalah dalam batas mubah dan boleh, tidak akan berubah menjadi wajib, kecuali pada orangawam yang sama sekali tidak memiliki kemampuan pengkajian dan penelitian. Sedangkan bagi orang yang mampu mempelajari dan meneliti, atau mumpuni untuk berpindah dari taqlid (mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui dalilnya) kepada ittiba’ (mengikuti pendapat ulama setelah mengetahui dalilnya). Mengetahui dalil dan menerimanya tidak berarti melegitimasinya menjadi ahli ijtihad, hanya memperbolehkannya, bisa jadi dalam satu masalah ketika memepelajari dalil-dalil madzhabnya kemudian menemukan kelemahan dalil itu mengharuskannya untuk mengambil pendapat madzhab lain yang lebih kuat. Posisi ini dapat disebut –sebagaimana Imam Hasan Al Banna- menyebutnya : “Level mengkaji hukum agama”  atau level orang yang mampu mengkaji hukum-hukum agama, memahaminya,  mengenali dalilnya, dan merujuk kepada sumber utama untuk menilainya.

c.       Taqlid tidak terbatas pada empat Madzhab
Masalah populer yang ada di masa fanatic madzhab adalah pembatasan taqlid pada empat madzhab saja. Hal ini tidak berdasar pada dalil syar’iy yang melarang taqlid ulama lainnya.
Dasarnya hanyalah bahwa madzhab empat itu telah lengkap pembukuan dan penjelasannya, yang dapat diperoleh dengan berurutan, terbagi menurut bab yang rapi, dan tersedia para ulama yang mengajarkan, sehingga bisa dengan mudah meyakinkan dan menisbatkan pendapat itu kepada aslinya, imamnya atau madzhabnya.
Sedangkan madzhab lainnya maka sangat sulit untuk menemukan nisbat pendapat itu kepada yang berhak. Kalau toh bisa ditemukan nisbatnya, pendapat-pendapat itu tidak didukung oleh para pengikut madzhab yang menjelaskannya ketika membutuhkan penjelasan.
Atas dasar sebab-sebab teknis di atas itulah kemudian para ulama membatasi taqlid hanya pada empat madzhab saja.
Akan tetapi pada zaman sekarang ini, ketika buku-buku klasik Islam telah dicetak dan telah berada di tangan kaum muslimin, dan pendapat para sahabat dan tabiin serta para mujtahid -baik fase sebelum era empat madzhab, atau yang semasa mereka, atau sesudahnya- telah tersebar dan sangat mudah untuk menisbatkan kepada pemilik aslinya. Maka tidak ada lagi halangan untuk bertaqlid kepada mereka dalam satu masalah atau yang lainnya jika berkemampuan untuk mengkaji dalil-dalilnya. Apalagi jika ditemukan bahwa dalil-dalil mereka lebih kkuat dari dalil yang sedang diamalkan sekarang ini.
Al Izz bin Abdussalam berkata: .. maka ketika ada madzhab yang menurutnya lebih kuat, maka bagi orang yang taqlid itu diperbolehkan mengikutinya meskipun di luar empat madzhab.”  

d.      Diperbolehkan iltizam/konsisten dengan satu madzhab bagi orang awam
Diantara kesalahan yang menyebar di kalangan kaum muslimin pada masa ta’ashshub madzhab adalah kewajiban iltizam dengan satu madzhab saja, dan haram intiqal/berpindah ke madzhab lainnya. Dan jawaban dari pandangan yang sektarian ini adalah larangan iltizam dengan satu madzhab. Kedua pendapat ini tanpa dalil.
Kewajiban iltizam dengan satu madzhab dan larangan intiqal madzhab lain baik secara umum maupun dalam masalah tertentu, baik sebelum atau sesudah mengamalkannya, tidak ada dalil syar’inya. Sebab yang wajib adalah yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu iltizam dengan hukum syar’iy, dan memperbolehkan kita jika tidak mengetahuinya langsung dari Al Qur’an dan As Sunnah untuk bertanya kepada ahludzdzikri tanpa ada pambatasan satu persatunya. Para sahabat bertanya kepada para fuqaha’nya, adan fuqaha menjawab pertanyaan mereka, dan tidak seorangpun dari sahabat yang ditanya itu mewajibkannya untuk tidak bertanya lagi kepada yang lain baik dalam masalah itu maupun masalah yang lainnya. Demikianlah kaum muslimin di sepanjang masa, sampai di masa empat imam madzhab itu sendiri. Tidak ada seorangpun dari mereka yang melarang muridnya mengambil pendapat ulama lain, tidak pernah ada pemikiran yang mewajibkan iltizam dan melarang intiqal kecuali pada masa belakangan saja.
Demikian juga pendapat yang mengharamkan iltizam dengan satu madzhab dan menganggapnya sebagai syirik, juga tidak ada dalilnya. Jika ada seseorang yang merasa cocok dengan salah satu ulama karena ketaqwaannya, dan selalu lebih ia sukai fatwanya, maka dalam Islam juga tidak ada dalil yang melarangnya, baik ulama itu dari kalangan empat madzhab atau selainnya. Yang tidak boleh adalah meyakini bahwa iltizam itu hukumnya wajib syar’iy. Kemudian jika suatu saat ingin intiqal ke madzhab lain, maka tidak ada yang menghalanginya, (dengan memperhatikan penjelesan berikut tentang talfiq).

e.      Kewajiban mengikuti dalil bagi pengikut yang mampu mengkaji
Sedangkan seorang muslim pengikut madzhab yang sudah mampu mempelajari hukum syar’iy maka kewajibannya adalah mencari dalil setiap masalah yang dikajinya, mendalaminya, memahami pendapat yang berbeda dan dalil-dalilnya, kemudian memilih yang paling dekat dengan Kitabullah dan As Sunnah, meskipun sikap ini membuatnya mengambil madzhab ini dan itu, bahkan jika mengharuskannya untuk berijtihad sendiri dalam masalah-masalah baru yan belum dibahas oleh ulama sebelumnya.
Walau demikian, tidak ada larangan syar’iy bagi seorang muslim pengikut madzhab untuk mengikuti satu madzhab sehingga dia mampu mempelajari seluruh masalah dengan keharusan mengikuti dalil yang lebih kuat dan bertahan pada dasar  madzhab pilihannya dalam masalah lain. Karena Allah tidak pernah memberikan taklif kepada seseirang kecuali sebatas kemampuannya. Terkadang seorang muslim harus berbulan-bulan tafarrugh (menfokuskan diri) untuk mempelajari satu masalah sehingga dapat menemukan dalil yang lebih kuat yang memuaskannya. Maka tidak salah kalau dia masih menjadi muqallid (taqlid) dengan salah satu imam, sehingga ia mampu mempelajari masalah. Lalu ketika telah menemukan dalilnya masih bersama dengan imam yang diikutinya, ia bisa bertahan di situ. Dan jika mendapatkan dalil yang kuat ada pada imam lain, maka ia akn pindak ke pendapat lain.

f.        Diperbolehkan Talfiq
 Talfiq artinya mengambil dari berbagai madzhab untuk satu masalah dan sampai kepada cara madzhab itu berpendapat. Akan kami jelaskan masalah talfiq dengan singkat berikut ini:
Mengambil satu masalah dari satu madzhab, dan mengambil masalah lain dari madzhab lain yang tidak berhubungan dengan masalah pertama diperbolehkan menurut jumhurul ulama yang tidak mewajibkan iltizam dengan satu madzhab dan memperbolehkan intiqal ke madzhab lain. Seperti seorang muslim yang shalat dengan madzhab Syafi’iy, kemudian zakatnya dengan madzhab Hanafi, atau puasa dengan madzhab Maliki.
Iltizam tentang satu masalah syar’iy dengan satu madzhab, lalu intiqal ke madzhab lain dalam masalah yang sama. Seperti shalat zhuhur dengan satu madzhab, kemudian shalat ashar dengan madzhab lain. Hal ini juga diperbolehkan oleh Jumhurul Ulama yang tidak mewajibkan iltizam dengan satu madzhab.
Bentuk talfiq yang diperselisihkan boleh tidaknya adalah talfiq dalam satu masalah saja. Seperti seorang muslim berwudhu mengusap sebagian kepala, sesuai dengan madzhab Syafi’iy, kemudian menyentuh wanita dan merasa tidak batal, taqlid imam Abu Hanifah dan imam Malik yang tidak menganggap bersentuhan wanita tidak membatalkan wudhu, kemudian ia shalat. Para ulama madzhab belakangan mengatakan: wudhu ini sudah batal, karena telah bersentuhan dengan wanita, dan tidak sah menurut Abu Hanifah karena mengusap kepalanya tidak sampai seperempat, tidak sah menurut Imam  Malik karena tidak mengusap seluruh kepala. Talfiq di sini menyeret kepada cara yang tidak diajarkan oleh madzhab manapun. Inilah yang tidak diperbolehkan.
  1. Sesungguhnya talfiq jika dilakukan dengan dalil yang kuat dari orang yang mampu mengkaji dalil-dalil hukum syar’iy, diperbolehkan. Karena kewajiban seorang muslim adalah berijtihad untuk dirinya sendiri. Dan ini bukan sisi yang diperselisihkan.
  2. Sedangkan talfiq yang dilakukan orang awam, diperbolehkan juga, karena madzhabnya orang awam adalah mengikuti fatwa muftinya. Dan orang awam tidak ditugaskan  untuk mengkaji madzhab dan melihat sudut-sudut perbedaan, sebab jika dia mampu melakukan hal ini tentu dia menjadi muqallid, bukan awam. Para sahabat ra ketika bertanya tentang satu masalah tidak menanyakan kepda seluruh orang yang mengetahuinya, dan yang ditanya juga tidak mensyaratkan jika sudah mengambil pendapatnya dalam masalah ini agar tidak bertanya kepada oranglain dalam masalah yang sama. Ini artinya bahwa generasi terbaik telah melakukan talfiq, ketika madzhab dan pendapat para sahabat belum dikumpulkan dan dibukukan. Setiap muslim dapat bertanya kepada siapa saja sahabat yang ditemui, lalu bertanya ke sahabat lainnya, tanpa meneliti apakah dua pertanyaan itu berkaitan atau tidak.
  3. Contoh tentang wudhu di atas, dapat kami jelaskan: Bahwa wudhu itu telah benar menurut madzhab Syafi’iy, sudah benar menurut pandangan Syar’iy, karena madzhab Syafi’iy bukan syari’at yang berdiri sendiri, tetapi pintu yang dipergunakan seorang muslim untuk sampai kepada syari’ah Allah. Ketika sudah masuk ke madzhab itu ia sudah berada di ruang syari’ah, wudhunya benara dalam pandangan syari’ah, jika dia menyentuh wanita dengan mengikuti madzhab Hanafi maka wudhunya tetap sah sesuai dengan madzhab itu, artinya sesuai dengan syari’at Islam, karena madzhab hanafi juga bagian dari syari’at Islam
  4. Kemudian talfiq yang dilakukan dengan dalil yang kuat, oleh orang yang mumpuni, dan larangan bagi orang awam, akan berkonotasi bahwa ada satu masalah yang haram atas seorang muslim dan halal bagi muslim lainnya. Hal ini tidak bisa diterima dalam hukum Islam yang di antara karakteristiknya adalah menyeluruh. Yang telah halal dalam syari’ah halal untuk semua, dan yang haram untuk dalam syari’ah haram untuk semua.
  5. Syeikh Ath Tharsusiy, Al Allamah Abus Su’ud, Al Allamah Ibnu Nujaim, Al Allamah Ibnu Arafah Al Malikiy, Al Allamah Al Adawiy dll, telah menfatwakan diperbolehkannya hukum murakkab atau talfiq. [3]



TATABBU’URRUKHAS DALAM TALFIQ

Ada sebagian orang awam yang memilih tatabbu’urrukhas dan pendapat-pendapat yang aneh dalam madzhab-madzhab atau ulama dengan semangat talahhiy (main-main) tasyahhiy (senang-senang) atau mencari yang paling gampang. Ini boleh atau tidak?
Mayoritas ulama melarang talfiq yang demikian karena sudah berubah menjadi mengikuti selera. Dan syari’at Islam melarang mengikuti nafsu. Ibnu Abdul Barr menyebutkan ijma’ larangan ini.
Sebagian ulama membolehkannya dalam beberapa madzhab, karena tidak ada larangan dalam syari’at yang melarangnya. Al Kamal bin Al Hammam berkata dalam kitab At Tahrir: “Sesungguhnya seorang muqallid dipersilahkan mengikuti yang dia kehendaki, meskipun seorang awam mengambil setiap masalah dengan ucapan mujtahid yang lebih ringan baginya, saya tidak tahu apa yang melarangnya secara naqli dan aqli. Keberadaan manusia yang mencari apa yang lebih ringan  baginya dari pendapat para mujtahid yang ahli berijtihad, saya tidak mengetahui celaannya dalam syari’at Islam. Dan adalah Rasulullah saw menyukai apa saja yang meringankan ummatnya.”
Yang kami ketahui bahwasannya tidak ada perbedaan hukum syar’iy antara rukhshah dan azimah, selama masih hukum syar’I yang memiliki dalil sahih. Jika diperbolehkan talfiq dalam masalah pokok, maka tidak ada sisi larangan untuk memilih yang mudah-mudah selama rukhshah itu memiliki dalil syar’iy. Tidak bisa dikatakan bahwa hukumnya makruh jika tidak ada dharurat atau udzur, dan diperbolehkan tanpa maakruh jika ada kondisi dharurat atau udzur. Rasulullah saw “tidak pernah diberi pilihan dua hal, kecuali memilih yang paling mudah selama tidak ada dosa”[4]. Prinsipnya setiap muslim diberi kebebasan memilih antara pendapat-pendapat produk ijtihadiyah yang berbeda-beda, dan insyaallah pendapat-pendapat itu tidak ada dosa.
Perlu diingatkan bahwa talfiq hanya berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang zhanniy (hipotesis). Sedangkan untuk masalah-masalah yang bersifat qath’iy tidak ada ruang untuk memilih rukhshah atau talfiq di sana. Sebagaimana jika talfiq atau mencari rukhshah itu menyeret kepada pelanggaran agama, maka hukumnya haram seperti jika dengan talfiq itu menyebabkan khamr, zina, dan perbuatan haram lainnya yang qath’iy menjadi mubah. Hal ini tidak mungkin menjadi halal baik dengan talfiq maupun dengan cara lain.

AKTIFIS ISLAM DAN ILMU FIQH
Setelah runtuhanya khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20, maka secara alami para da’I dan ulama bergerak untuk mengembalikan pemerintahan yang Islamiy dalam kehidupan umat Islam, maka lahirlah pergerakan-pergerakan dan partai, muncul lembaga-lembaga dan tampil para ulama yang semua bergerak untuk tujuan itu dengan menganggapnya sebagai kewajiban agama.
Kebangkitan Islam yang dikumandangkan di masa sekarang ini, mengcover ruang yang sangat luas dalam masyarakat muslim, pemerintahan dan partai ssangat membutuhkan  upaya untuk menaikkan syi’ar (benderanya) melipat gandakan gelombangnya disadari atau tidak.
Gelombang kebangkitan ini dalam banyak sisi masih berupa ssemangat dan perasaan yang masih sangat membutuhkan pemahaman sehingga mampu memainkan perannya dengan signifikan. Al wa’yu (keterjagaan) yang bersih hanya bisa dibangun lewan tafaqquh (pemahaman) yang benar terhadap madzhab-madzhab yang ada di zaman sekarang ini yang sesuai dengan situasi amal Islamiy kontempoerer. Diantara kontribusi positif dalam penyadaran pemahamab yang bersih, ingin kami jelaskan berikut ini beberapa masalah penting, yaitu:

1.      Belajar dan Pengajaran Fiqh
Belajar dan Mengajarkan fiqh Islam adalah kebutuhan setiap orang yang melakukan amal Islamiy. Sesungguhnya setiap orang yang mengajak kepada Islam, orang yang memulai hidup Islamiy, harus dimulai dari diri sendiri, dan belajar bagaimana menjadi pribadi yang hidup Islamiy, komitmen dengan masalah halal dan haram dalam ibadah maupun muamalah, dan bahakan setiap sisi hidupnya. Ini semua tidak akan terwujud tanpa belajar fiqh.
Dari itulah kami nyatakan bahwa apapun harakah Islamiyah yang dilakukan dengan serius mengharuskannya untuk mempelajari fiqh, kemudian mengajarkannya kepada kaum muslimin. Karena mengetahui hukum agama adalah langkah pertama untuk iltizam dengan agam itu. Iltizam seseorang secara individu terhadap hukum-hukum ini adalah jug alangkah yang harus dilakukan untuk mengantarkan umat Islam seluruhnya iltizam dengan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya.
Ada sebagian orang yang menyalah fahami pandangan Asy Syahid Sayyid Quthb, dalam hal ini yaitu: “tidak menyetujui penggunaan fatwa Islam dalam setiap persoalan masyarkat modern yang menolak berhukum dengan Islam sejak awal” Dia menganggap “Usaha untuk mengembangkan fiqh islam untuk menghadapai situasi dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat modern adalah upaya menabur benih di udara” Dia berpendapat bahwa yang harus dilakukan adalah: “Ushan yang menyadarkan masyarakat ini untuk tunduk kepada hukum Allah, kemudian setelah itu fiqh akan berkembang untuk menjawab kebutuhan yang ada secara nyata, dan mencari solusinya”[5] ada sebagian orang yang menyimpulkan pernyataan ini bahwa Sayyid Quthb menyerukan untuk meninggalkan fiqh.
Orang yang membaca pernyataan Sayyid Quthb ini dengan obyektif akan berkesimpulan bahwa yang dimaksudkan adalah upaya pembaharuan dan pengembangannya, bukan kekayaan fiqh yang telah diwariskan oleh para Ulama, dan para Imam, yang di dalamnya telah diuraikan halal dan haram, peninggalan yang sangat besar yang selalu bersandar kepada Al Kitab dan As Sunnah, berangkat dari keduanya, meskipun sering diwarnai oleh warna zaman fiqh itu ditulis. Tidak mungkin ada seorng muslim yang tidak membutuhkan kekayaan fiqh ini. Sayyid Quthb mengharapkan usaha pemahaman dan komitmen dengan hukum-hukum syar’I itu. Inilah yang ditulis Sayyid Quthb: “Tinggallah kewajiban untuk komitmen dengan hukum-hukum Islam itu yang harus ditegakkan di setiap pundak kaum muslimin yang berada dalam tatanan masyarkat jahiliyah, dan bergerak menghadapi jahiliyah itu untuk menegakkan system yang Islamiy…”(Fi Zhilal Al Qur’an juz 13 hal 21
Jika iltizam dengan hukum syar’iy menjadikan kewajiban, maka mempelajari,memperhatian dan mengajarkannya menjadi kewajiban yang aksiomatik. Ini juga menjadi konsekwensi logis dalam upaya penegakan masyarakat Islami dan mengembalikan hukum Allah di muka bumi. Tidak ada yang bertentangan.  

2.      Metode Belajar dan Pengejaran Fiqh
Tidak diragukan lagi bahwa terdapat perbedaan serius dalam mempelajari dan mengajarkan fiqih antara methode madzhab dengan metode salaf. Kami menyadari bahwa perbedaan itu telah mngalami penggelembungan  yang jauh dari kenyataannya oleh sebagian kelompok sectarian di sana sini, sehingga menyebabkan seikap mengkafirkan atau menganggap sesat kelompok lain yang berbeda pandangan. Kami menyadari bahwa wajah dan peran fiqih dalam kehidupan umat Islam tidak akan terwujud dengan baik kecuali dalam paying negara yang Islamiy. Maka bekerja untuk menegakkan negeri yang Islami adalah problem utama umat Islam, sedang perbedaan pengajaran fiqh antara madrasah para madzhab dan madrasah salaf harus dipertahankan dalam batas dialog yang dipenuhi rasa ukhuwwah untuk mencapi yang paling afdhal.
Sedang sikap sebagian umat Islam yang membiarkan musuh-musuh Islam mereka yasa untuk mencerabut hukum-hukum Islam yang ada, dan menyibukkan umat dengan perang saudara yang menghabiskan banyak energi tanpa ada hasilnya, tidak akan pernah memberikan kebaikan bagi Islam atau bagi dua madarasah fiqh itu. Sebab jika ada yang merasa meraih kemenangan semu, maka tidak akan pernah ditemukan dalam kemenangan itu dampak positif, setelah hukum dan fiqh Islam telah terabit dari realitas umat Islam dan digantikan dengan hukum produk orang-orang kafir.
Kami melihat bahwa kedua metode fiqh itu diajaarkan Islam, dapat diterima dan bermanfaat, dengan syarat para pembawa madrasah fiqh  madzhab menyadari bahwa fiqh madzhab bukanlah pengganti dari fiqh Al Qur’an dan As Sunnah, tetapi menyadarinya sebagai rincian dan pencabangan dari kedua sumber itu. Sehingga yang baku hanyalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Sebagaimana para pengusung madrasah fiqh salaf untuk menyadari bahwa khilaf (perbedaan) memahami Al Kitab dan As Sunnah adalah realitas syar’iy, dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh umat manusia dengan satu pemahaman saja. Sebagaimana tidak meungkin menjadikan kemampuan seluruh manusia dengan satu standar pemahaman. Dan bahwa orang yang tidak mampu memahami teks Al Qur’an dan As Sunnah sendiri maka diperbolehkan untuk merujuk kepada para ulama dan para imam yan membantunya memahami agama, khususnya empat imam madzhab yang madzhabnya telah diterima oleh umat Islam, juga imam-imam lain, termasuk ahul bait Nabi, ulama’ny para sahabat Nabi, dan Tabi’in jika dapat memperoleh pendapat mereka yang sahih dan valid.
Kami berpendapat bahwa ruang lingkup amal Islami harus mencakup dua madrasah itu, karena kewajiban syar’iy menghendaki keduanya. Kami melihat bahwa suasana tsiqah (saling percaya)  dan mahabbah (cinta) harus merata kepada seluruh umat sehingga mereka dapat bersama-sama menghadapi perang besar melawan musuh-musuh Islam. Dari itu kami nasehatkan berikut ini:
a.       Mempelajari dan mengajarkan fiqh sesuai dengan salah satu madzhab empat imam adalah masyru’, tetapi kami sarankan untuk mencari rujukan pendapt para madzhab itu kepada sumber utamanya yaitu Al Kitab dan As Sunnah. Dan hendaklah orang yang mempelajarinya menengok pendpat masdzhab lain jika memungkinkan. Dijelaskan kepadanya juga bahwa pendapat-pendapat yang lain itu juga benar, dan sangat baginya untuk berpindah mengikuti pendapt itu jika merasa lebih cocok –jika memiliki cukup alas an syar’iy, atau ketikadalam kondisi darurat. Seorang da’I yang bisa mengkaji perbedaan pendapat dalam satu masalah akan menjadikannya lebih lunak bersama dengan orang lain, tidak kecewa kepada mereka, karena satu pendapat lalu menuduhnya sesat, karena ada pendapat lain, membuka perang horizontal tanpa ada alasan yang membenarkan.
b.      mempelajari dan mengajarkan fiqh langsung dari Al Qur’an dan As Sunnah juga masyru’, dan merupakan dasar kajian. Akan tetapi melihat pandagan para ulama dan madzhab-madzhab yang ada merupakan dharuriyah (kaharusan) untuk memahami teks dengan baik. Hal ini sangat dibutuhkan oleh para da’I yang berinteraksi dengan kaum muslimin secara luas yang menjadi pengikut salah satu madzhab. Masalah fundamental bagi para da’I bukan mengeluarkan jumhurul ummat dari pandangan satu imam kepada imam lainnya dalam masalah furu’iyah, akan tetapi agenda utamanya adalah mengentaskan jumhurul ummat ini dari hukum jahiliyah buatan manusia untuk menegakkan syari’at Allah. Dari itu tidak ada gunanya menyuruh orang meninggalkan madzhab yang telah dipilih, untuk mengikuti ijtihad sang da’I, dengan dalil bahwa itu bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Harus diketahui bahwa mayoritas pendapat yang dinisbatkan kepada nash sesungguhnya hanyalah sekedar pemahaman terhadap nash itu, dan tidak ada yang bisa menghalangi keberadaan pemahaman lain. Dan bahwasannya pendapat para imam madzhab minimal adalah pemahaman  yang lain yang memiliki dalil.
c.       Kami sangat mengharapkan kalau para aktifis Islam, dan para da’I adalah orang-orang yang mampu mengkaji hukum-hukum agama beserta dalilnya. Dapat diselenggarakan bagi mereka itu forum-forum diskusi dari waktu ke waktu seputar masalah-masalah yang diperselisihkan dalam suasan penuh mahabbah dan penuh tsiqah. Forum-forum ini akan memperluas pandangan dan wawasannya. Barangkali ada titik temu antara mereka itu dalam satu pandangan, meskipun titik temu itu tidak akan pernah menjadi satu-satunya pandangan bagi seluruh umat Islam.      
       

3.      Fiqh amal Islamiy atau Fiqh Perubahan
Sesungguhnya amal Islamiy sekarang ini bertujuan untuk membangun masyarakat islamiy dan negara yang islamiy. Hal ini harus menjadi agenda utama dalam kehidupan setiap muslim, karena ia merupakan perintah agama yang sangat penting yang jika diwujudkan maka seluruh perintah agama lainnya akan terlaksana. Dan jika belum terealisir maka seluruh ajaran agama yang lain akan tersembunyi dan terkontaminasi.  
Sesungguhnya usaha kaum muslimin, dalam level ulama, pergerakan, dan golongan untuk menegakkan hukum Islam, harus dipandu juga dengan fiqh syar’iy, baik dalam pembatasanmarhalah (level), atau metodenya dan segala yang berhubungan dengannya. Fiqh jenis ini tidak pernah dibahas oleh para ulama kita di masa lalu, karena mereka memang tidak membutuhkannya. Fiqih inilah yang disebut oleh Sayyid Quthb dengan “Fiqhul-harakah” sebagai bandingan dari “Fiqhul-Auraq/kertas” yang tidak dapat mewakili keseluruhan fiqhutturats, tetapi hanya bermuatan sebagian sisi fiqh yang masih merupakan ungkapan di atas kertas dan belum terealisir. Sedangkan fiqhul-halal wal haram yang diterapkan secara pribadi, maka tidak disebut Sayyid Quthb sebagai fiqhul-auraq. Fiqh inilah yang diserukan untuk ditekuni dan diamalkan dengan sepenuh hati.
Fiqh yang harus dipelajari setiap aktifis Islam hari ini adalah pendalaman hukum-hukum yang mengharuskan amal Islamiy modern ini, baik dari sisi pentahapan amal, metode amal, hubungan dengan orang lain yang muslim maupun non  muslinm, dengan seluruh muatan hubungan ini mulai dari perdamaian, gencatan senjata, koalisi, peperangan,  dll sehingga perjalanan para aktifis itu dipandu oleh bukti dan petunjuk yang jelas. Fiqh semacam ini tidak untuk menggantikan fiqhul-ibadat dan muamalah serta bab fiqh lainnya. Fiqh ini hanya sebagian dari fiqh itu. Para ulama kita telah mengkajinya sesuai dengan suasana saat itu, dan sekarang membutuhkan pengkajian ulang dalam ruang lingkup kondisi sekarang.
Dua fiqh ini –fiqhutturats dan fiqhul harakat- keduanya sangat dibutuhkan dan menjadi kewajiban, sedangkan fiqhul-auraq adalah fiqh yang ditolak meskipun bagian dari peninggalan klasik. Itulah fiqh yang mengada-ada masalah yang pernah ditolak oleh para imam di masa lalu. Mereka berkata kepada penanya masalah yang mengada-ada itu dengan pernyataan: “Biarkan sampaia ada dahulu”.  Itulah cara mereka ketika hukum Islam telah tegak berdiri, apakah pantas di zaman sekarang ini untuk kita mengurusi masalah-masalah yang tidak terjadi, dengan melupakan problema umat Islam yang lebih besar dan serius?

4.      Diantara Keistimewaan Fiqh Islam adalah Lengkap dan Realistis 
Sesungguhnya fiqh Islam yang komprehensif, dan perhatiannya terhadap seluruh problema umat Islam dalam skala peersonal dan komunal adalah sesuatu yang aksiomatik, karena fiqh itu merupakan produk dari ajaran Islam yang komprehensif. Fiqh yang tidak melarang untuk memberikan perhatian lebih pada salah satu sisi fqih dari pada sisi lainnya jika memang kebutuhan kepadanya lebih besar, yang dilarang oleh fiqh Islam adalah mengabaikan salah satu sisi fiqh dengan pengabaian total,dan membengkakkan perhatian pada fiqh lainnya. Jika fiqh ibadah telah mendapatkan porsi besar dalam sejarah Islam kita karena situasi yang telah kita ketahui semua, maka hal ini tidak boleh membuat kita meninggalkan sisi fiqh lainnya. Sangat mungkin menjadi kewajiban atau yang lebih bermanfaat bagi umat kita hari ini adalah pendalaman dan pengorsinilan fiqhul harakah agar serasi dengan fiqhul ibadah.
Fiqh Islam adalah fiqh yang riil. Definisi fiqh seperti yang tersebut di atas adalah sekumpulan hukum Islam yang wajib ditaati setiap muslim dalam kahidupan praktisnya. Dengan demikian maka fiqh Islam bukan fiqh yang mengada-ada. Realitas fiqh Islam mengharuskan perhatian fiqh itu untuk menjelaskan hukum-hukum syar’iy dalam setiap masalah yang terjadi. Dan masalah terpenting yang dihadapi kaum muslimin hari ini adalah usaha untuk mengembalikan kejayaan hukum Islam. Maka fiqh Islam harus pula menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan usaha ini.
Kelenngkapan dan relitas fiqh Islam pada zaman sekarang ini mengharuskan kita untuk memberikan perhatian utuh kepada fiqhutturats dan fiqhul harakah sehingga keduanya saling melengkapi, dan kita tidak boleh sekalipun menjadikan dua fiqh ini saling berhadap-hadapan (diadu). Seorang da’I tanpa fiqh seperti orang yang berjalan  di padang pasir tanpa bekal, dan ahli fiqh yang tidak terlibat dengan aktifitas saudaranya dalam memikul beban berat usaha mengembalikan kekuasaan Islam –sedangkan ia orang yang pertama kali mengetahui hukum wajibnya atas setiap muslim- maka ia tidak akan pernah menjadi contoj kebaikan sebagai seorang ulama yang mengamalkan ilmunya.
            



METODE FIQH DALAM KITAB INI
Dalam kitab ini kami menempuh cara khusus, yaitu dengan berpegang pada:
  1. Kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah semaksimal mungkin, agar hukum-hukum syar’iy memiliki paying dan berhubungan dengan sumber pokoknya, dan agar memudahkan orang yang mencari dalil menggunakan kitab ini.
  2. Menyebutkan pendapat yang paling penting dalam masalah-masalah yang diperselisihkan, dengan mengadopsi salah satunya jika dalilnya jelas dan menguatkan. Kemudian menyebutkan pendapat-pendapat lainnya dalam urutan redaksi maupun pada catatan kaki.
  3. Kesungguhan untuk mencantumkan pendapat empat madzhab semaksimal mungkin agar bagi siapapun yang ingin beriltizam dengan salah satunya dapat menggunakan kitab ini.
  4. Dalam kesempatan tertentu, kami sebutkan pendapat imam lain di luar empat madzhab, sejalan dengan pendapat kuat yang memperbolehkan bertaqlid kepada selain empat madzhab.
  5. Kami berupaya agar kitab ini menjadi permulaan kajiab fiqh para aktifis islam, untuk merealisasikan pikiran besar yang telah kami sebutkan di atas. Dan kemungkinan dijarkan dalam halaqah para pemula, dalam madrasahnya salafi maupun madzhabiy, dan memungkinkan para pengkajinya untuk berpindah kepada kajian kitab fiqh lain dengan terbuka dan jauh dari sikap sectarian, penuh kelenturan yang tidak mengarah kepada pelunturan. Jika hal ini berhasil, maka itulah pertolongan Allah, dan jika kami salah maka harapan besar kami akan rahmat dan ampunan Allah.
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم


[1] Selengkapnya hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhariy dalam Kitabul Maghaziy
[2] Lihat Kitab Al Ahkam, Al Amidiy dan Al Mushtashfa, Al Ghazali
[3] lihat Kitab Ushul Fiqh Al Islamiy DR. Wahbah Az Zuhailiy
[4] Muatan hadits ini dengan redaksi yang berbeda-beda dalam shahih Bukhari Muslim, Muwaththa’ Malik, Musnad Imam Ahmad dan Sunan Ad Darimiy
[5] cuplikan dari buku” Al Islam wa Musykilatul-hadharah”. Sayyid Quthb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar